Analisa Putusan Mahkamah
Konstitsusi Tentang Substansi Undang – Undang Yang Bertentangan dengan Undang
Undang Dasar Tahun 1945
A.Pembukaan
A.1
Uraian Singkat UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Perkawinan sebagai peristiwa hukum tentu memiliki
akibat hukum. Perkawinan di Indonesia mempunyai akibat yaitu timbulnya hubungan
antara suami istri, timbulnya harta benda dalam perkawinan, dan timbulnya
hubungan antara orang tua dan anak. Hubungan antara anak dan orangtua akan
timbul sejak dilahirkan. Anak yang memiliki hubungan sah menurut hukum akan
memiliki hak yang dilindungi. Namun jika diperlukan dalam kasus tertentu bayi dalam
janin bisa dianggap subjek hukum. Berlakunya seorang manusia sebagai subjek
hukum dimulai saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat seorang meninggal dunia.
Dalam Hukum Perdata dikenal pembagian golongan
untuk pihak-pihak yang berhak untuk mendapatkan waris. Dalam golongan I yang
menjadi ahli warisnya adalah suami istri pewaris dan keturunannya (anak sah dan
anak luar kawin diakui). Kedudukan anak luar kawin jika diakui dianggap sebagai
pewaris dengan satu pertiga dari jumlah warisan yang ada. Kedudukan dari anak
luar kawin tidak pernah menjadi rumit karena hanya akan dua pilihan yaitu anak
luar kawin diakui atau tidak diakui. Pengakuan akan memberikan hak untuk
mendapatkanwaris.Jika tidak diakui maka tidak akan
berhak untuk mendapatkan harta warisan. Pengaturan golongan I terdapat dalam
Pasal 825a KUHPer.
Dalam
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UU No. 1
tahun 1974 tentang Perkawinan) diatur bahwa “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Pada 17 Februari 2012, MKRI menyatakan Pasal 43 ayat (1) Undang –
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinantersebut
inkonstitusional bersyarat. Dalam amar putusannya, MKRI menyatakan Pasal 43
ayat (1) UU Perkawinan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai
menghilangkan hubungan dengan laki-laki yang dapat dibuktikan melalui ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain ternyata mempunyai hubungan
darah sebagai ayahnya.
A.2
Tugas Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI)
sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI 1945) Pasal 24 ayat 2 terdapat ketentuan
“Kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dab badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Pasal 24 ayat C UUD NRI Tahun 1945 juga telah
menyebutkan mengenai wewenang kostitusi yakni :
·
Mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusanya bersifat final untuk menguji
undang – undang terhadap undang – undang dasar
·
Memutus
sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenanganya diberikan oleh UUD
·
Memutus
pembubaran partai politik
·
Memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum
Dilihat dari wewenang tersebut yakni pada point pertama ,maka MK
berwenang dalam kasus ini yakni pengajuan undang – undang perkawinan terhadap
UUD NRI Tahun 1945
B.Dududk Perkara
Kasus
1.Pemohon
a.Nama : Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H.
Mochtar Ibrahim
Tempat dan Tanggal Lahir : Ujung Pandang, 20 Maret 1970
Alamat : Jalan Camar VI Blok BL 12A, RT/RW 002/008,
Desa/Kelurahan Pondok Betung, Kecamatan Pondok Aren,Kabupaten Tangerang, Banten
b.Nama : Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono
Tempat dan Tanggal Lahir : Jakarta, 5 Februari 1996
Alamat : Jalan Camar VI Blok BL 12A, RT/RW 002/008,
Desa/Kelurahan Pondok Betung, Kecamatan Pondok Aren, Kabupaten Tangerang,
Banten.
2.Duduk Perkara Kasus
2.1 Tentang Adanya
Perkawinan
Bahwa pada
tanggal 20 Desember 1993, di Jakarta telah berlangsung pemikahan antara Pemohon
(Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim) dengan seorang
laki-laki bernama Drs. Moerdiono, dengan wali nikah almarhum H. Moctar Ibrahim,
disaksikan oleh 2 orang saksi, masing-masing bernama almarhum KH. M. Yusuf
Usman dan Risman, dengan mahar berupa seperangkat alat shalat, uang 2.000 Riyal
(mata uang Arab), satu set perhiasan emas, berlian dibayar tunai dan dengan
ijab yang diucapkan oleh wali tersebut dan qobul diucapkan oleh laki-laki
bernama Drs. Moerdiono;
Hal ini
sesuai denganPasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan: “Perkawinan adalah
sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya
itu”, sehingga oleh karenanya pemikahan yang telah dilakukan oleh Pemohon
adalah sah dan hal itu juga telah dikuatkan dengan Putusan Pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) sebagaimana
tercantum
dalam amar Penetapan atas Perkara Nomor
46/Pdt.P/2008/PA.Tgrs., tanggal 18 Juni 2008
2.2 Status Pernikahan dan Kedudukan
Anak
Bahwa Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan
menyatakan:
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dengan berlakunya Pasal 2 ayat (2)
UU Perkawinan, maka hak-hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara
Indonesia yang dijamin oleh Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan;
Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 menyatakan:
“Setiap orang berhak membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.” Ketentuan UUD
1945 ini melahirkan norma konstitusi bahwa Pemohon yang merupakan warga negara
Indonesia memiliki hak yang setara dengan warga negara Indonesia Iainnya dalam
membentuk keluarga dan melaksanakan perkawinan tanpa dibedakan dan wajib
diperlakukan sama di hadapan hukum;
Sedangkan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945
menyatakan:
“Setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.” Ketentuan UUD 1945 ini jelas melahirkan norma konstitusi bahwa
anak Pemohon juga memiliki hak atas status hukumnya dan diperlakukan sama di
hadapan hukum.
Artinya, UUD 1945 mengedepankan norma hukum
sebagai bentuk keadilan terhadap siapapun tanpa diskriminatif. Tetapi, UU
Perkawinan berkata lain yang mengakibatkan Pemohon dirugikan hak
konstitusionalnya. Secara konstitusional, siapapun berhak melaksanakan
perkawinan sepanjang itu sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
Dalam hal ini, Pemohon telah melaksanakan perkawinannya sesuai dengan norma
agama yang dianutnya yaitu Islam, serta sesuai dengan rukun nikah sebagaimana
diajarkan oleh Islam. Bagaimana mungkin norma agama diredusir oleh norma hukum
sehingga perkawinan yang sah menjadi tidak sah. Akibat dari diredusirnya norma
agama oleh norma hukum, tidak saja perkawinan Pemohon statusnya
menjadi tidak jelas tetapi juga mengakibatkan keberadaan
eksistensi anaknya di muka hukum menjadi tidak sah;
2.3 Anak Diluar Kawin
Dalam Pasal
43 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan: “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”Berdasarkan
Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, maka anak Pemohonhanya mempunyai hubungan
keperdataan ke ibunya, dan hal yang samajuga dianut dalam Islam. Hanya saja hal
ini menjadi tidak benar, jikanorma hukum UU Perkawinan menyatakan seorang anak
di luarperkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dankeluarga
ibunya, karena berpijak pada sah atau tidaknya suatuperkawinan menurut norma
hukum. Begitupun dalam Islam, perkawinanyang sah adalah berdasarkan ketentuan
yang telah diatur berdasarkan Al-Quran dan Sunnah, dalam hal ini, perkawinan
Pemohon adalah sah dansesuai rukun nikah serta norma agama sebagaimana
diajarkan Islam.
Perkawinan Pemohon bukanlah karena
perbuatan zina atau setidaktidaknya
dianggap sebagai bentuk perzinahan.
Begitu pula anaknya adalah anak yang sah. Dalam pandangan Islam hal yang
berbeda dan sudah barang tentu sama dengan ketentuan dalam UU Perkawinan adalah
menyangkut seorang wanita yang hamil dan tidak terikat dalam perkawinan maka
nasib anaknya adalah dengan ibu dan keluarga ibunya. Jadi, pertanyaannya adalah
bagaimana mungkin perkawinan yang sah menurut norma agama, tetapi norma hukum
meredusirnya menjadi tidak sah?
Dengan
berlakunya Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, maka hak-hak konstitusional Pemohon
selaku ibu dan anaknya untuk mendapatkan pengesahan atas pemikahannya serta
status hukum anaknya yang dijamin oleh Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan
2.3 Pertentangan Dengan
Hak Anak Dalam UUD 1945
Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
menyatakan
“Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum.” Merujuk pada ketentuan UUD 1945 ini maka Pasal 2 ayat (2)
dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tidaklah senafas dan sejalan serta telah
merugikan hak konstitusional Pemohon sekaligus anaknya. Ditilik berdasarkan
kepentingan norma hukum jelas telah meredusir kepentingan norma agama karena
pada dasamya sesuatu yang oleh norma agama dipandang telah sah dan patut
menjadi berbeda dan tidak sah berdasarkan pendekatan memaksa dari norma hukum.
Akibat dari bentuk
pemaksa yang dimiliki norma hukum
dalam UU Perkawinan adalah hilangnya status hukum perkawinan Pemohon dan
anaknya Pemohon. Dengan kata lain, norma hukum telah melakukan pelanggaran terhadap
norma agama;
3. Alasan Pengajukan Permohonan
1. Bahwa Pemohon merupakan pihak yang
secara langsung mengalami dan merasakan hak konstitusionalnya dirugikan dengan
diundangkannya UUPerkawinan terutama berkaitan dengan Pasal 2 ayat (2) dan
Pasal 43 ayat (1). Pasal ini ternyata justru menimbulkan ketidakpastian hukum
yang mengakibatkan kerugian bagi Pemohon berkaitan dengan status perkawinan dan
status hukum anaknya yang dihasilkan dari hasil perkawinan;
2. Bahwa hak konstitusional Pemohon yang
telah dilanggar dan merugikan tersebut adalah hak sebagaimana dijamin dalam
Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan ketentuan Pasal
28B ayat (1) dan (2) UUD 1945 tersebut, maka Pemohon dan anaknya memiliki hak
konstitusional untuk mendapatkan pengesahan atas pernikahan dan status hukum
anaknya. Hak konstitusional yang dimiliki oleh Pemohon telah dicederai oleh
norma hukum dalam UU Perkawinan. Norma hukum ini jelas tidak adil dan merugikan
karena perkawinan Pemohon adalah sah dan sesuai dengan rukun nikah dalam Islam.
Merujuk ke norma konstitusionalyang termaktub dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945
maka perkawinan Pemohon yang dilangsungkan sesuai dengan rukun nikah adalah sah
tetapi terhalang oleh Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan.
Norma hukum yang
mengharuskan sebuah perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang
berlaku telah mengakibatkan perkawinan yang sah dan sesuai dengan rukun nikah
agama Islam (norma agama) menjadi tidak sah menurut norma hukum. Kemudian hal
ini berdampak ke status anak yang dilahirkan Pemohon ikut tidak menjadi sah
menurut norma hukum dalam UU Perkawinan. Jadi, jelas telah terjadi pelanggaran
oleh norma hukum dalam UU Perkawinan terhadap perkawinan Pemohon (norma agama).
Hal senada juga disampaikan oleh Van Kan: “Kalau pelaksanaan norma-norma hukum
tersebut tidak mungkin dilakukan, maka tata hukum akan memaksakan hal lain,
yang sedapat mungkin mendekati apa yang dituju norma-norma hukum yang
bersangkutan atau menghapus akibat-akibat dari pelanggaran norma-norma hukum
itu.” (Van Kan, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan dari Incleiding
tot de Rechtswetenshap oleh Mr. Moh. O. Masduki), PT. Pembangunan, Jkt,
cet. III, 1960, hal. 9-11.)
3.
Bahwa konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal
28D ayat (1) UUD 1945 tersebut adalah setiap orang memiliki kedudukan dan hak
yang sama termasuk haknya untuk mendapatkan pengesahan atas pemikahan dan
status hukum anaknya. Norma konstitusi yang timbul dari Pasal 28B ayat (1) dan
ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) adalah adanya persamaan dan kesetaraan di
hadapan hukum. Tidak ada diskriminasi dalam penerapan norma hukum terhadap
setiap orang dikarenakan cara pernikahan yang ditempuhnya berbeda dan anak yang
dilahirkan dari pemikahan tersebut adalah sah di hadapan hukum serta tidak
diperlakukan berbeda. Tetapi, dalam praktiknya justru norma agama telah
diabaikan oleh kepentingan pemaksa yaitu norma hukum.
Perkawinan Pemohon yang sudah sah berdasarkan rukun nikah
dan norma agama Islam, menurut norma hukum menjadi tidak sah karena tidak
tercatat menurut Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan. Akibatnya, pemberlakuan norma
hukum ini berdampak terhadap status hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan
Pemohon menjadi anak di luar nikah berdasarkan ketentuan norma hukum dalam
Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan. Di sisi lain, perlakuan diskriminatif ini
sudah barang tentu menimbulkan permasalahan karena status seorang anak di muka
hukum menjadi tidak jelas dan sah. Padahal, dalam UUD 1945 dinyatakan anak
terlantar saja, yang status orang-tuanya tidak jelas, dipelihara oleh negara.
Dan,
hal yang berbeda diperlakukan terhadap anak Pemohon yang dihasilkan dari
perkawinan yang sah, sesuai dengan rukun nikah dan norma agama justru dianggap
tidak sah oleh UU Perkawinan. Konstitusi Republik Indonesia tidak menghendaki
sesuatu yang sudah sesuai dengan norma agama justru dianggap melanggar hukum
berdasarkan norma
hukum.
Bukankah hal ini merupakan pelanggaran oleh norma hukum terhadap norma agama;
4. Bahwa dalam kedudukannya sebagaimana
diterangkan terdahulu, maka telah terbukti Pemohon memiliki hubungan
sebab-akibat (causal verband) antara kerugian konstitusional dengan
berlakunya UU Perkawinan, khususnya Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1),
yaitu yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan dan hubungan hukum anak yang dilahirkan
dari perkawinan yang tidak dicatatkan. Telah terjadi pelanggaran atas hak
konstitusional Pemohon sebagai warga negara Republik Indonesia, karena Pasal 2
ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tersebut bertentangan dengan Pasal
28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Hal ini mengakibatkan pemikahan Pemohon yang telah
dilakukan secara sah sesuai dengan agama yang dianut Pemohon tidak mendapatkan
kepastian hukum sehingga menyebabkan pula anak hasil pemikahan Pemohon juga
tidak mendapatkan kepastian hukum pula; Jelas hak konstitusional dari anak
telah diatur dan diakui dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Kenyataannya sejak
Iahirnya anak Pemohon telah mendapatkan perlakuan diskriminatif yaitu dengan
dihilangkannya asalusul dari anak Pemohon dengan hanya mencantumkan nama
Pemohon dalam Akta Kelahirannya dan negara telah menghilangkan hak anak untuk kelangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang karena dengan hanya mempunyai hubungan keperdataan
dengan ibunya menyebabkan suami dari Pemohon tidak mempunyai kewajiban hukum
untuk memelihara, mengasuh dan membiayai anak Pemohon. Tidak ada seorang
anakpun yang dilahirkan di muka bumi ini dipersalahkan dan diperlakukan diskriminatif
karena cara pemikahan yang ditempuh kedua orang tuanya berbeda tetapi sah
menurut ketentuan norma agama. Dan, anak tersebut adalah anak yang sah secara
hukum dan wajib diperlakukan sama di hadapan hukum;
Kenyataannya maksud dan tujuan diundangkannya UU
Perkawinan berkaitan pencatatan perkawinan dan anak yang lahir dari sebuah perkawinan
yang tidak dicatatkan, dianggap sebagai anak di luar perkawinan sehingga hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya. Kenyataan ini telah memberikan
ketidakpastian secara hukum dan mengganggu serta mengusik perasaan keadilan
yang tumbuh dan hidup di masyarakat, sehingga merugikan Pemohon; Kelahiran anak
Pemohon ke dunia ini bukanlah suatu kehadiran yang tanpa sebab, tetapi sebagai
hasil hubungan kasih-sayang antara kedua
orang tuanya (Pemohon
dan suaminya), namun akibat dari ketentuan
Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, menyebabkan suatu
ketidakpastian hukum hubungan antara anak dengan bapaknya. Hal tersebut telah melanggar
hak konstitusional anak untuk mengetahui asal-usulnya. Juga menyebabkan beban
psikis terhadap anak dikarenakan tidak adanya pengakuan dari bapaknya atas
kehadirannya di dunia. Tentu saja hal tersebut akan menyebabkan kecemasan,
ketakutan dan ketidaknyamanan anak dalam pergaulannya di masyarakat;
5. Bahwa Pemohon secara objektif
mengalami kerugian materi atau finansial,
yaitu
Pemohon harus menanggung biaya untuk kehidupan Pemohon serta untuk membiayai
dalam rangka pengasuhan dan pemeliharaan anak. Hal ini dikarenakan adanya
ketentuan dalam UU Perkawinan yang menyebabkan tidak adanya kepastian hukum
atas pernikahan Pemohon dan anak yang dihasilkan dari pemikahan tersebut.
Akibatnya, Pemohon tidak bisa menuntut hak atas kewajiban suami memberikan
nafkah lahir dan batin serta biaya untuk mengasuh dan memelihara anak. Tegasnya,
UU Perkawinan tidak mencerminkan rasa keadilan di masyarakat dan secara
objektif-empiris telah memasung hak konstitusional
Pemohon sebagai warga negara Republik Indonesia untuk
memperoleh kepastian hukum dan terbebas dari rasa cemas, ketakutan, dan diskriminasi
terkait pernikahan dan status hukum anaknya. Bukankah Van Apeldoorn dalam
bukunya Incleiding tot de Rechtswetenschap in Nederland menyatakan
bahwa tujuan hukum adalah untuk mengatur
pergaulan
hidup secara damai. Hukum menghendaki kedamaian. Kedamaian di antara manusia
dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang
tertentu yaitu kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda dan lain sebagainya terhadap
yang merugikannya. Kepentingan individu dan kepentingan golongan-golongan
manusia selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan
kepentingan-kepentingan ini selalu akan menyebabkan pertikaian dan kekacauan
satu sama lain kalau tidak diatur oleh hukum untuk menciptakan kedamaian dengan
mengadakan keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi, di mana setiap
orang harus memperoleh sedapat mungkin yang menjadi haknya (Van Apeldoorn, Pengantar
Ilmu Hukum, terjemahan Incleiding tot de Studie van Het
Nederlandse Recht oleh Mr. Oetarid Sadino, Noordhoff-kalff N.V. Jkt. Cet.
IV, 1958, hal. 13). Norma konstitusi yang termaktub dalam UUD 1945 salah
satunya mengandung tujuan hukum.
Tujuan
hukum dapat ditinjau dari teori etis (etische theorie) yang menyatakan
hukum hanya semata-mata bertujuan mewujudkan keadilan. Kelemahannya adalah
peraturan tidak mungkin dibuat untuk mengatur setiap orang dan setiap kasus,
tetapi dibuat untuk umum, yang sifatnya abstrak dan hipotetis. Dan, kelemahan
lainnya adalah hukum tidak selalu mewujudkan keadilan. Di sisi lain, menurut
teori utilitis (utilities theorie), hukum bertujuan mewujudkan
semata-mata apa yang berfaedah saja. Hukum bertujuan menjamin adanya
kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada
orang sebanyak-banyaknya.
Kelemahannya adalah hanya memperhatikan hal-hal umum, dan
terlalu individualistis, sehingga tidak memberikan kepuasan bagi perasaan
hukum. Teori selanjutnya adalah campuran dari kedua teori tersebut yang
dikemukakan oleh para sarjana ini. Bellefroid menyatakan bahwa isi hukum harus ditentukan
menurut dua asas, yaitu keadilan dan faedah. Utrecht menyatakan hukum bertugas
menjamin adanya kepastian hukum (rechtszekerheid) dalam pergaulan
manusia. Dalam tugas itu tersimpul dua tugas lain, yaitu harus menjamin
keadilan serta hukum tetap berguna.
Dalam kedua tugas tersebut tersimpul pula tugas ketiga
yaitu hukum bertugas polisionil (politionele taak van het recht). Hukum
menjaga agar dalam masyarakat tidak terjadi main hakim sendiri (eigenrichting).
Sedangkan, Wirjono Prodjodikoro berpendapat tujuan hukum adalah mengadakan keselamatan
bahagia dan tertib dalam masyarakat (Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari
Ilmu Hukum, Pustaka Kartini, Cet. Pertama, 1991, hal. 23-26). Berdasarkan
penjelasan tersebut, norma hukum yang termaktub dalam UU Perkawinan telah
melanggar hak konstitusional yang seharusnya didapatkan oleh Pemohon;
C.Pendapat Beberapa Pihak
1.Pemerintah ,dalam
kesimpulanya sebagai berikut
·
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai
kedudukan hukum (legal standing);
·
Menolak permohonan pengujian para Pemohon
seluruhnya atau setidaktidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon
tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);
·
Menerima Keterangan Pemerintah secara
keseluruhan;
·
Menyatakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan
Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tidak bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1)
dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
2.DPR ,dalam
kesimpulanya menyatkan sebagai berikut
·
Menyatakan permohonan a quo ditolak
untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya permohonan a quo tidak dapat
diterima;
·
Menyatakan Keterangan DPR diterima untuk
seluruhnya;
·
Menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak bertentangan
dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
·
Menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat
(1) UU Perkawinan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.
3.Mahkamah,melalui
kesimpulanya
·
Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan
a quo;
·
Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
·
Pokok permohonan beralasan menurut hukum
untuk sebagian;
D.Putusan Mahkamah
Konstitusi
·
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
sebagian;
·
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1,
TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata
dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan
darah sebagai ayahnya;
·
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang
dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut
harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki
sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”;
·
Menolak permohonan para Pemohon untuk selain
dan selebihnya;
·
Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam
Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
E. Komentar
Sejak adanya Putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010
tersebut. Anak luar kawin diakui sebagai anak yang sah dan mempunyai hubungan
waris dengan bapak biologisnya. Putusan MKRI tidak hanya berlaku pada pihak
yang berperkara saja tetapi berlaku secara umum di Indonesia. Maka atas putusan
yang diakui hubungan anak luar kwaein dengan bapak biologis ini akan melahirkan
banyak gugatan ke pengadilan agama dan pengadilan negeri.
Putusan Mahkamah Konstitusi dapat didownload di http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_46%20PUU%202010-TELAH%20BACA.pdf