Kamis, 03 Juli 2014

Analisis Penerapan Pasal dalam UU.No.32 Tahun 2009 Terhdap Kasus Pembuangan Limbah oleh Sungai Citarum

Posted by trisna widyaningtyas at 09.38
Analisa Kasus Penerapan Pasal Pada Undang – Undang No.32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Kasus Pembuangan Limbah Pabrik Tekstil ke Sungai Citarum













Oleh :
Trisna Widyaningtyas

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2014
 
 
 
 
 
 
 
Kasus

Sumber ,Koran Tempo ,edisi Selasa ,25 Februari 2014
Uraian Singkat Kasus
            Hail Audit BPK terdapat 17 Perusahaan yang melanggar baku mutu dari kualitas pengelolaan pabrik tekstil yang membuang limbah di Daerah Aliran Sungai(DAS)Citarum .Akibat hal tersebut negara menderita kerugian oleh aktivitas pembungan limbah tersebut.
            Peran pemerintah terlihat dengan pengalokasian dana sebesar 1,3 triliyun untuk merehabilitasi lingkungan hidup.Salah satu program pemerintah dalam pembenahan Sungai Citarum yakni pembenahan sejauh 77 kilometer dari hulu hingga Waduk Saguling .Pemerintah juga telah bekerja sama dengan Polda Jawa Barat untuk memberikan sanksi ataupun peringatan kepada perusak sungai.
1.apakaj pemerintah pusat dan daerah ,bumn,swasta
Tidak seharusnya masyarakat juga berperan sesuai pasal 70
Penjelasan pasal
2.Produk hukum apa bumn dan swasta dalam pengelolaan suangai citarum
a.Yang patut disalahkan siapa apakah manusia,instansasi ,pemerintah dasarnya apa ?
menurut kami semua pihak belum menjalakan dalam hal berkenaan lingkungan hidup sesuai dengan kedudukanya
misal dari perusahaan : belum ssadarnya akan pentingnya lingkungan hidup diketahui pembungan limbah
pemerintah belum juga  melalkukan kewajubanya sesuai dengan kedudukanya dengan mengeluarkan kebijakan serta sosialsiasi dan pengawasan 71 ,98 ketentuan pidana


Bab I
 Pendahuluan
Kehidupan masyarakat dan negara-negara yang menyandang predikat sebagai negara berkembang, terus diliputi kesibukan mendesain dan memacu pembangunan nasionalnya. Karakteristik pembangunan negara-negara berkembang ini menempatkan sektor industri sebagai salah satu alternatif untuk memajukan perekonomian negara yang bersangkutan. Dengan kata lain, peran sektor industri dianggap sangat menunjang keberhasilan pembangunan ekonomi negara tersebut, terutama dalam perspektif pembangunan jangka panjang.
            Berdasarkan anggapan tersebut, Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan pun pernah melaporkan, bahwa industri menempati posisi sentral dalam ekonomi masyarakat modern dan merupakan motor penggerak yang tidak tergantikan bagi pertumbuhan. Bagi negara-negara berkembang, industri sangat esensial untuk memperluas landasan pembangunan dan memenuhi kebutuhan yang terus meningkat.[1] Pengalaman di hampir semua negara menunjukkan, bahwa industrialisassi sangat perlukarena menjamin pertumbuhan ekonomi.[2]
Bangsa Indonesia meskipun sedang giat-giatnya menumbuhkan dan mengembangkan sektor industrinya, tidak berarti aktifitas industri tekstil mengabaikan dalil-dalil lingkungan dan perangkat peraturan hukum pendukung kelestarian fungsi lingkungan hidup.[3] Menggapai keuntungan ekonomi adalah hal yang wajar dalam aktifitas industri. Namun, kalangan pengusaha industri tekstil tidak dapat mengabaikan dalil lingkungan dan perangkat peraturan hukum sebagai instrumen pencegahan pencemaran limbah industrinya.
            Fenomena pencemaran limbah industri mengancam kelestarian fungsi lingkungan hidup akan terus berlanjut, jika komitmen dasar industri-industri tekstil nasional tetap mengedapankan dan memperhitungkan nilai keuntungan ekonomi semata, tanpa memperdulikan pencemaran limbah industrinya.
            Meskipun idealnya tujuan industrialisasi tersebut, upaya nyata untuk mengaplikasikannya berpengaruh pula terhadap keberadaan lingkungan hidup, yakni mencuatnya fenomena pencemaran limbah industri yang terus mengancam kelestarian fungsi lingkungan hidup dalam jangka panjang.
            Beberapa tahapan proses di dalam industri tekstil dikenal banyak membawa masalah terhadap lingkungan, karena menghasilkan limbah yang mencemari lingkungan selama proses produksi.[4] Pencemaran lingkungan hidup akibat buangan limbah industri tekstil, akan mengganggu kehidupan masyarakat dan dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup secara berkesinambungan.
            Di zaman sekarang, air menjadi masalah yang memerlukan perhatian serius. Untuk mendapatkan air yang baik sesuai dengan standar terntentu sudah cukup sulit untuk di dapatkan. Hal ini dikarenakan air sudah banyak tercemar oleh bermacam-macam limbah dari berbagai hasil produksi industri. Sehingga menyebabkan kualitas air menurun, begitupun dengan kuantitasnya. Gejala umum pencemaran air akibat limbah yang sangat tampak adalah berubahnya keadaan fisik maupun peruntukan sesuatu lingkungan. Air sungai sekitar lokasi industri  pencemar, yang semula berwarna jernih, berubah menjadi keruh berbuih dan terbau busuk, sehingga tidak layak dipergunakan lagi oleh warga masyarakat sekitar untuk mandi, mencuci, apalagi untuk bahan baku air minum. Pencemaran air dapat berdampak menjadi penyebab ketidakseimbangan ekosistem sungai dan danau, pengrusakan hutan akibat hujan asam, dsb.
            Lingkungan hidup merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki peran yang sangat strategis terhadap keberadaan makhluk ciptaan Tuhan, termasuk manusia. Oleh karena itu, manusia sebagai subjek lingkungan hidup memiliki peran yang sangat penting atas kelangsungan lingkungan hidup.[5] Dampak kegiatan industri dapat berupa gangguan, kerusakan, dan bahaya terhadap keselamatan dan kesehatan masyarakat sekelilingnya yang ditimbulkan karena pencemaran tanah,air, udara termasuk kebisingan suara oleh kegiatan industri.[6] Pencemaran lingkungan hidup tersebut menurut Wisnu Arya Wardhana sangat merugikan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kerugian secara langsung adalah dirasakan akibatnya secara cepat, sedangkan kerugian secara tidak langsung adalah lingkungan menjadi rusak, sehingga daya dukung alam terhadap kelangsungan hidup manusia menjadi berkurang.[7] Terhadap kesehatan warga masyarakat sekitar dapat timbul penyakit dari yang ringan seperti gatal-gatal pada kulit sampai yang berat berupa cacat genetic pada anak cucu dan generasi berikut.
            Pemerintah telah membuat berbagai Undang-Undang dan peraturan yang terkait dengan pencemaran lingkungan, termasuk pencemaran air sungai. Tetapi, meskipun berbagai undang-undang dan peraturan telah dibuat, namun belum efektif dalam mengatasi kasus pencemaran air limbah tekstil yang telah terjadi. Hal ini dapat disebabkan karena lemahnya penegakan hukum terkait dengan masalah pencemaran lingkungan. Pengertian dan persepsi yang berbeda mengenai masalah lingkungan hidup sering menimbulkan ketidak harmonisan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Akibatnya seringkali terjadi kekurang tepatan dalam menerapkan berbagai perangkat peraturan, yang justru menguntungkan perusak lingkungan dan merugikan masyarakat dan pemerintah.

Bab II
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah kami paparkan diatas beserta berita yang kami dapat dari sumber media cetak maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
II.1 Apakah pembuangan limbah pabrik tekstil yang  diketahui melanggar baku mutu kualitas pengelolaan limbah tekstil melanggar ketentuan pasal 20 (tentang baku mutu lingkungan ) pada UU.No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sehingga dikatakan melanggar Ketentuan Pidana Lingkungan Hidup ?
II.2 Apakah kewenangn Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit lingkungan hidup dibenarkan dalam UU.No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ?
III.3 Apakah kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam rencana pemerintah telah sesuai dengan kewenangn Pemerintah pusat dalam pengelolaan dan penangan lingkungan hidup yang diatur dalam pasal 63 UU.No 32 tahun 2009  tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ?
III.4 Apakah alokasi dana yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Bandung untuk rehabilitasi Sungai Citarum telah sesuai dengan pasal 46 UU.No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Llingkungan Hidup ?
III.5 Apa upaya yang seharusnya dilakukan Pemerintah berkenaan dengan pelanggaran pembuangan limbah pabrik tekstil yang melampaui baku mutu kualitas pengolahan sehingga mencemari Daerah Aliran Sungai  Citarum ?


Bab III
Pembahasan
III.1.a  Pengertian Limbah Pabrik Tekstil
Sebelum kita membicarakan baku mutu pengelolaan limbah tekstil alangkah baik bila kita mengetahui maksud dari limbah pabrik tekstil.Limbah pabrik tekstil memang berbeda dengan limbah pabrik pada lainya semisal pada limbah pabrik makanan seperti tahu tempe.Limbah pabrik tahu menghasilkan limbah padat dan cair.Pada limbah padat dimanfaatkan untuk pakan ternak ,namun pada limbah cair harus diolah terlebih dahulu agar tidak merusak lingkungan karena pada limbah cair terdapat BOD (Biochemical Oxygen Demand), COD (Chemical Oxygen Demand), TSS, dan minyak/lemak berturut - turut sebesar 4583, 7050, 4743 dan 26 mg/l.[8]Seperti artikel yang dikutip di kompas bahwa baku mutu limbah cair industri produk makanan dari kedelai menurut KepMenLH No. Kep-51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri, kadar maksimum yang diperbolehkan untuk BOD, COS, dan TSS berturut - turut adalah 50, 100, 200 mg/l. Sehingga terlihat jelas bahwa limbah cair industri tahu melebihi baku mutu yang telah dipersyaratkan.
Lain halnya limbah pabrik tahu yang masih dapat dimanfaatkan ,pada limbah pabrik tekstil belum terdapat pemanfaatan secara langsung berkenaan dengan limbah cair.Sampai sejauh ini penelitian mengacu pada cara pengolahan limbah pabrik tekstil.Terdapat pemanfaatan limbah cair bila berkenaan dengan sisa kain yang tag terpakai.Namun konteks penulisan ini mengacu pada limbah cair pabrik tekstil.Limbah pabrik tekstil memiliki kadar warna dan COD yang cukup tinggi karena sebagian besar limbah yang dihasilkan berupa campuran dari bahan - bahan organik sebagai produk samping dari proses produksi.Pewarnaan dan pembilasan menghasilkan air limbah yang berwarna dengan COD (Chemical Oxygen Demand) tinggi dan bahan-bahan lain dari zat warna yang dipakai.
Menurut G.Alert , COD adalah jumlah oksigen (mg O2) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organis yang ada dalam 1 liter sampel air, dimana pengoksidasi K2,Cr2,O7 digunakan sebagai sumber oksigen (oxidizing agent) (G. Alerts dan SS Santika, 1987). COD adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia baik yang dapat didegradasi secara biologis maupun yang sukar didegradasi. Bahan buangan organic tersebut akan dioksidasi oleh kalium bichromat yang digunakan sebagai sumber oksigen (oxidizing agent) menjadi gas CO2 dan gas H2O serta sejumlah ion chrom[9].Dari hal tersebut diketahui bahwa zat organis tersebut berbahaya bagi makhluk hidup sehingga dibutuhkan oksigen untuk mengoksidasi zat organik tersebut agar aman bagi makhluk hidup.Bila kandungan COD semakin tinggi dapat disimpulkan semakin berat pula zat organik yang terkandung dalam limbah tersebut.
II.1.b    Pengertian Baku Mutu Lingkungan
II.1.b.1 Pengaturan Baku Mutu Lingkungan Dalam UU.32 Tahun 2009 Tetang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal  20 UU No.32 tahun 2009 berkaitan tentang baku mutu lingkungan.Pasal 20 ayat 1 disebutkan bahwa ,Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungn hidup[10].Dari pasal tersebut diketahui bahwa tolak ukur pencemaran lingkungan dilihat dari baku mutu lingkungan.Pada penjelasan pasal 20 ayat 2 b dikatakan bahwa yang dimaksud dengan baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media air.Sementara jenis kadar polutan seperti apa tidak dijelaskan dalam undang – undang ini.Namun dalam pasal 20 ayat 5 disebutkan bahwa ,ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf b,huruf e ,dan huuf f diatur dalam peraturan mentri. [11]
III.1.b.2  Pengaturan Tentang Baku Mutu Lingkungan Dalam Peraturan Mentri No.3 Tahun 2010 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Kawasan Industri
            Peraturan Mentri No.3 tahun 2010 mengatur tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Kawasan Industri ,pada pasal 1 angka 3 disebutkan bahwa ,
Baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan/atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang atau dilepas ke dalam sumber air dari suatu usaha dan/atau kegiatan.
           
            Selanjutnya dalam pasal 1 angka 4 juga disebutkan apa yang dimaksud dengan sumber air yakni ,
Sumber air adalah wadah air yang terdapat di atas dan di bawah
permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini akuifer, mata air,
sungai, rawa, danau, situ, waduk, dan muara.
            Dari pemeparan kedua pasal tersebut jelas terlihat bahwa baku mutu adalah jumlah unsur pencemar dalam limbah yang dapat dibuang ke suangai (salah satu sumber air ) dari suatu usaha (usaha pabrik tekstil ).Unsur pencemar yang tidak terlalu mebahayan ekosistem dari sumber air tentu dapat dibuang secara langsung ke sumber mata air .Namun apa yang terjadi bila lambah yang mengandung berbagai macam zat kimia ,dan unsur logam yang dapat merusak kelangsungan ekosistem dari sumber mata air tersebut.Pasal 11 peraturan mentri ini mengisyaratkan untuk dilakukan pengolahan terlebih dahulu terhadap limbah sebelum dibuang ke sumber mata air.Adapun bunyi pasal 11 tersebut yakni sebagi berikut ,

Instalasi Pengolahan Air Limbah Terpusat yang selanjutnya disebut IPAL terpusat adalah instalasi yang digunakan untuk mengolah air limbah yang berasal dari seluruh industri dan aktivitas pendukungnya yang ada dalam kawasan industri.

            Memang dalam peraturan mentri ini tidak disebutkan kriterai pelanggaran terhadap baku mutu lingkungan namun kita mengetahui bahwa limbah pabrik tekstil adalah limbah yang berat kandungan akan zat kimianya serta unsur – unsur COD ,dan untuk menetralkan tersebut harus diolah terlebih dahulu yakni melalui IPAL ,bila limbah tersebut langsung dibuang ke sumber mata air secara langsung tentu dapat merusak ekosistem mahkluk hidup yang berakibat pada perusakan lingkungan.
            Selain dengan IPAL pengelolaan limbah tektil dapat dilakukan dengan menggunakan jerami beradasar journal dari ITB gambaran singkat penggolhan limbah yakni  Air, zat warna tekstil dan bahan lainnya banyak dipakai dalam proses industri tekstil tersebut, yang sebahagiannya akan merupakan bahan sisa pengolahan yang dibuang sebagai air limbah industri tekstil khususnya dari proses pencelupan, merupakan sumber pencemar berat terutama karena mengandung zat warna tekstil. Telah diteliti kemungkinan penggunaan jerami padi untuk menyerap zat warna tekstil. Dalam penelitian ini, jerami padi diolah terlebih dahulu dengan cara dipanaskan dengan larutan NaOH 2%, kemudian dicuci sampai netral.. Pada kondisi asam HCl 0,1 M kapasitas penyerapan zat warna tekstil oleh jerami padi adalah 9,8 mg/g.Dapat juga dengan Teknologi Dielectric Barrier Discharge Dengan Variasi Tegangan Dan Flow Rate Oksigen Yang Dapat Meenurukan Warna, Cod Dan Tss Limbah Cair Industri Tekstil yang merupakan penelitian dosen dari Universitas Diponegoro dan menjadi journal.
III.1.3  Ketentuan Pidana Lingkungan Hidup 
            Hukum Lingkungan sebenrnya masuk dalam hukum administrasi negara sehingga ranahnya publik.Manakala pemerintah melakukan perlindungan Lingkungan Hidup tidak hanya aspek HAN saja melainkan aspek – aspek lain.Misalnya : hukum lingkungan keperdataan ,hukum lingkungan internasional ,hukum lingkungan kepidanaan dll.Konsekuensi dari penamaan H.Pidana Lingkungan ,Hukum Perdata Lingkungan mengacu bahwa induk dari tersebut adalah lingkungan bukan kepidaan atau perdata.Adapun maksud daru hukum pidana lingkungan dalam tulisan ini dibatasi dari segi obyektifitas yakni sepanjang menyangkut aspek pidana dari UUPPLH [12] .Sebenarnya hukum pidana menyangkut 3 aspek yakni :
·         Adanya seperangkat aturan
·         Adanya seperangkat lembaga yang melaksanakan aturan tersebut
·         Adanya orang yang dikenai aturan tersebut
Dari ketiga aspek tersebut tentu terpenuhi dalam hukum lingkungan yakni ada seperangkat aturan yang ditungankan dalam peraturan perundang – undangan salah satunya UU.N0 32 tentang Lingkungan Hidup .Adanya lembaga yang melaksanakan aturan tersbut dalam hal ini adalah pejabat esekutif mulai mentri hingga pemerintah daerah ,serta adanya orang yang dikenai aturan tersbut adalah pihak pengusaha yang akan mendirikan suatu usaha dan harus mempertimbangkan AMDAL.

III.2.1   Pengertian Badan Pemeriksa Keuangan
Berdasar pasal 1 angka 1 UU No.15 tahun 2006 tentang BPK disebutkan bahwa

Badan Pemeriksa Keuangan, yang selanjutnya disingkat BPK, adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[13]

Sementara yang dimaksud dengan keuangan negara adalah berdasar  pasal 1 angka 7 UU.No 15 tahun 2006 adalah
Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.[14]

III.2.2  Auditor Lingkungan Hidup  
Dari pasal diatas dapat diketahui sanksi denda terhadap pelanggaran ketentuan UU.No 32 tahun 2009 merupakan hak negara ,entah menjadi milik pemerintah pusat atau pemerintah daerah.Sementara itu berkaitan dengan hal tersebut dalam pasal 10 UU No.15 tahun 2006 tentang wewenang BPK disebutkan salah satunya yakni,

BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.

            Sehingga berdasar pasal 1 angka 1 ,pasal 1 angka 7 dan pasal 10 BPK berwenang melaksanakan audit terhadap lingkungan hidup dikarenakan terjadi kerugian terhadap negara berkenaan dengan pembungan limbah tekstil yang mekanggar baku mutu kualitas pengelolaan limbah.
             Namun demikian undang – undang Lingkungan Hidup tidak memberikan penjelasan secara explisit mengenai keikutsertaan BPK dalam hal kerugian negara terhadap lingkungan hidup. Dalam pasal 48 UU.32 tahun 2009 pemerintah hanya mendorong penanggung jawab usaha untuk melakukan audit lingkungan dalam rangka meningkatkan kinerja lingkungan hidup bukan audit terhadap kerugian negara terhadap lingkungan hidup.Serta audit dalam hal pasal 18 UU.No 32 tahun 2009 dilaksanakan oleh auditor lingkungan hidup yang telah memiliki sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup.[15]

III.3    Tugas dan Wewenang Perintah
Dari kasus yang diambil dari media cetak diketahui bahwa akibat pembuangan limbah tekstil yang belum dikelola sebelumnya menyebabkan pencemaran dan kerusakan terhadap perusakan pada  Daerah Aliran Sungai Citarum.Menindaklanjuti perusakan lingkungan tersebut pemerintah melakukan upaya yakni pembenahan Sungai Citarum sejauh 77 kilometer dari hulu hingga Waduk Saguling dalam empat tahun.Berdasarkan pasal 63 ayat 2 UU No.32 tahun 2009 tentang Tugas Wewenang Pemerintah dan Pemrintah terdapat beberapa terdapat beberapa tugas dan wewenang pemerintah provinsi dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diantaranya :
a. menetapkan kebijakan tingkat provinsi;
b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat provinsi;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH provinsi;
d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;
e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat provinsi;
f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan;
g. mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas kabupaten/kota;
h. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan, peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah kabupaten/kota;
i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
j. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
k. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan antarkabupaten/antarkota serta penyelesaian sengketa;
l. melakukan pembinaan, bantuan teknis, dan pengawasan kepada kabupaten/kota di bidang program dan kegiatan;
m. melaksanakan standar pelayanan minimal;
n. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi;
o. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat provinsi;
p. mengembangkan dan menyosialisasikan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan hidup;
q. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;
r. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat provinsi; dan
s. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat provinsi.
Rencana pemerintah Kabupaten Bandung pembenahan Sungai Citarum sejauh 77 kilometer dari hulu hingga Waduk Saguling dalam empat tahun tentu sesuai dengan huruf a disebutkan ,menetapkan kebijakan tingkat provinsi [16].Memang rencana pemerintah tersebut belum dituangkan dalam peraturan daerah namun rencana tersebut sudah menggambarkan bahwa upaya Pemerintah Bandung dalam merehabilitasi telah sesuai dengan kewenangan yang diberikan UU.No 32 tahun 2009 kepada pemerintah dan pemerintah daerah.

III.4   Alokasi Dana Untuk Rehabilitasi Lingkungan Hidup
Indonesia adalah negeri yang terbentang dari Sabang hingga Merauke corak geografis tersebut yang menyebabkan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi.Keanekaragaman tersebut akan mempengaruhi struktur sosial dari masyaraktnya dan kemampuan potensi sumber daya alamnya.Kemampuan daerah satu dengan daerah lain pasti berbeda – beda hal tersebut berkenaan dengan potensi sumber daya alam serta sumber daya manusia yang dimiliki oleh tiap daerah.Sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki oleh suatu daerah akan mempengaruhi keuangan atau pendapatan dari suatu daerah tersebut.Sehingga berkenaan dengan alokasi dana pemerintah untuk rehabilitasi lingkungan hidup juga disesesuaikan dengan kemampuan dari daerah tersebut.
                      Seperti dalam informasi yang kami peroleh dari berita bahwa Kabupaten Badung mengalokasikan 1,3 triliun untuk merehabilitasi lingkungan hidup.Jumlah tersebut  tentu bukan hal yang sedikit.UU No 32 tahun 2009 memang tidak mengatur berapa jumlah yang harus dianggarkan suatu daerah untuk merehabilitasi lingkungan hidup.Namun dalam pasal 46 diisyaratkan bahwa pemerintah baik pusat maupun daerah wajib mengalokasikan anggaran untuk pemulihan lingkungan hidup seperti yang disebutkan berikut ini ,[17]

Selain ketentuan sebagaimna dimaksud dalam pasal 46 ,dalam rangka pemulihan kondisi lingkungan hidup yang kualitasnya telah mengalami pencemaran dan / atau kerusakan pada saat undang – undang ini ditetapkan ,Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran untuk pemulihan lingkungan hidup.

Sehingga dapat dikatakan bahwa undang – undang lingkungan hidup tidak menetapkan berapa jumlah yang harus dikeluarkan untuk merehabilitasi lingkungan hidup namun undang – undang hanya mengisyaratkan mewajibkan pemerintah untuk mengalokasikan dana untuk perbaikan lingkungan hidup.
III.5  Upaya  Yang Seharusnya Dilakukan Pemerintah
            Langkah yang sangat tepat untuk dilakukan pemerintah adalah upaya penegakan hukum .Dalam amakna yang sederhana berati ,upaya menegakkan hukum materiil agar tercipta kehidupan masyarakat yang sejahtera.[18] Hukum materiil adalah hukum yang terdapat pada undang – undang tersebut yang harus ditaati .Bila ketentuan yang telah tertulis dan dilanggar tentu akan menimbulkan pelanggaran dan sanksi diberikan kepada ereka yang melanggar.Penegakkan hukm disini lebih bersifat preventif[19] .Namun apakah penegrtian penegakan hukum yang berlaku secara umum juga berarti sama pada penegakan hukum lingkunga ?Menurut Prof .Andi Hamzah ,penegakan hukum (lingkungan) itu diartikan secra luas yakni dari segi preventif dan represif.[20]Entah itu represif maupun preventif keduanya tentu dapat meminimalkan pelanggaran terhadap ketentuan dalam UU.No.32 Tahun 2009 sehingga memenimalkan kerusakan dan pemcemaran lingkungan hidup.Adapun upaya yang dapat dilakukan meliputi :
III.5.1 Pengawasan
            Pengawasan disini berarti mentri ,gubernur ,atau bupati /walikota wajib melakukan pengawasan terhadap :
·         Ketaatan penanggung jawab usaha yang ditetapkan dalam peraturan perundang –undangan bidang perlindungan lingkungan hidup (pasal 71 UU.No 32 Tahun 2009 )
Dalam kasus tidak dipaparkan mengenai peraturan byang dikeluarkanoleh pemerintah daerah berkenaan penanggung jawab usaha di lingkungan hidup sehingga terlihat kurang kuatnya unsur kepastian hukum.
·         Ketaatan penanggung jawab dalam izin lingkungan (pasal 72 UU.No.32 Tahun 2009).
Bila izin sudah diberikan kepada perusahaan tentu pemerintah mengetahui Dampak Lingkungan yang terjadi setelah pembangunan tersebut terhadap lingkuan hidup disekitarnya.Bila diketahui bahwa dengan pembangunan tersebut dapat merusak lingkungan hidup seharusnya izin tidak diberikan.
·         Penanggung jawab kegiatan usaha yang izin lingkunganya diterbitkan pemerintah daerah dan pemerintah menganggap terjadi pelanggaran di bidang perlindungan lingkungan (pasal 73).
Bila memang terbukti adanya pelanggaran dalam usaha izin yang hanya menguntungkan beberapa pihak ,sudah selakyaknya urusan pemerintah turun campur ,sehingga kelestarian lingkungan hidup dapat diselamtakan.
III.5.2 Ketentuan Pidana
            Sanksi pidana dalah sanksi yang paling tegas dibandingkan dengan sanksi lainya.Pemberian sanksi pidana bukan tanpa alasan.Pemberian sanksi ini tentu melanggar ketentuan yang terdapat dalam rumusan pasal tersebut (asas legalitas ) .Dalam berita dikethui bahwa ke – 17 perusahaan sengaja membuang limbah pabrik teksil tanpa pengolhan terlebih dahulu sehingga menyebabkan DAS Citarum mengalami pencemaran dan kerusakan.Bila kita iningin mengaikatkan dengan ketentuan pidana kasus ini tentu sesuai dengan pasal 98 UU.No 32 tahun 2009.Pasal 98 menyebutkan ,
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauuinya baku mutu udara ambien ,baku mutu air ,baku mutu air laut ,atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup ,dipidana dengan pidana penajara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan denda paling sedikit Rp.3.000.000.000(tiga miliar rupiah )dan paling banyak 10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah ).Sehingga bila sanksi ini efektif dilakukan tentu membuat jera pelaku dan menambah pendapatan negara.


Bab IV
Penutup

IV.1  Kesimpulan
·         Pembuangan limbah pabrik tekstil terbukti melanggar ketentuan pidana UUPPLH yakni melanggar pasal 20 (baku mutu lingkungan) dan 98 (saknsi pidana ) UU.No 32 tahun 2009
·         BPK dapat melakukan pengwasan dalam hal salah satunya terdpat kerugian pada negara meskipun dalam UU.32 tahun2009 tidak disebutkan secara explisit tentang pengaturan BPK namun berlaku asas lex specialis derogate lex generalis
·         Rencana pemerintah untuk membenahi Sungai Citarum tidak bertentangan dengan kewenangan pemerintah daerah hal tersebut sesui dengan pasal 63 ayat 2 huruf a UU.No.32 tahun 2009
·         UUPPLH tidak menetapkan berapa jumlah anggaran alokasi dana untuk rehabilitasi lingkungan hidup namun berdasar pasal 46 ,pemerintah hanya diwajibkan menganggarka alokasi dana untuk rehabilitasi lingkungan hidup.
·         Alokasi dana yang dikeluarkan pemrintah untuk rehabilitasi lingkungan hidup tidak bertentangan dengan UUPPLH
·         Upaya yang dapat dilaukan pemerintah dapat melalui preventi (pencegahan pasal 71 – 75 ) dan represif (ketentuan pidana pasal 87-123 )
·         UUPPLH masih meduduki posisi yang pendting bagi masyarakat  dalam menjalankan kegiatan yang berkenaan dengan lingkungan hidup
·         Kurangnya kesadaran para pengusaha akan pentingnya lingkungan hidup

IV .2  Saran
Pemerintah
·         Peningkatan penegakan hukum lingkungan baik preventif danrepresif (sanksi pidana)
·         Pengeluaran kebijkan yang dapat bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan hidup khususnya
·         Filter terhadap izin pendirian usaha ,yang tidak hanya mementingkan kepentingan tertentu
·         Perlu mengadakan sosialisasi berkenaan hukum postif baik kepada pengusaha maupun masyarakat umum.
Pengusaha
·         Menjalankan prosedur yang sesuai bila akan mendirikan bangunan (AMDAL)
·         Menghindari pembangunan yang merusak atau mengakibatkan pencamaran akibat keberadaan usaha tersebut
·         Melakukan pembangunan berwawasan lingkungan
·         Mementingkan kepentingan umum
Kaum Intelektual
·         Berperan aktif dalam mengkritisi masalah – masalah lingkungan hidup
·         Melakukan penelitian yang bermanfaat di bidang lingkungan hidup
·         Menginformasikan kepada masyrakat berkenaan dengan lingkungan hidup (peraturanya ,manfaatnya dll )
·         Belajar atau mendalami aspek lingkungan hidup
Masyarakat umum
·         Menjaga kelestarian lingkungan hidup
·         Mengembangkan pembangunan berwasasan lingkungan
·         Tanggap informasi berkenaan dengan lingkungan hidup
·         Saling mengajak dan mengingkatkan pada orang lain akan pentingnya lingkungan hidup bagi kebrlangsungan hidup manusia



Bab VI
Daftar Pustaka
Literatur
Andi Hamzah ,Penegakan Hukum Lingkungan , Sinar Grafika ,Jakarta ,2005
Emil Salim. Pembangunan Berwawasan Lingkungan, LP3ES ,Jakarta.,1986
Gatot Soemartono ,Hukum Lingkungan Indonesia,Sinar Grafika ,Jakarta ,1998  
Gro Harlem Brutland, dkk,Hari depan kita bersama,Gramedia, Jakarta,1988
Hermein Haiati Koeswadji,Hukum Pidana Lingkungan ,Citra Aditya Bakti ,Bandung ,1993 
Sonny Yuliar. Paradigma Produksi Bersih, Nuansa dan Pusat Penelitian Teknologi ITB,Bandung, 1999
Syahrul Machmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia ,Graha Ilmu,Yogyakarta ,2012
Supriadi, Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika Offset,Jakarta ,2006
Tulus TH. Tambunan,Industrialisasi di negara sedang berkembang.,Ghalia Indonesia,Jakarta ,2001
Wisnu Arya Wardhana,Dampak pencemaran lingkungan, Andi Offset ,Yogyakarta,1999

Peraturan Perundang – Undangan
Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian.
Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keungan
Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Peraturan Mentri Nomor 3 Tahun 2010 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Kawasan Industri

Journal
Mochtar Hadiwidodo1, Haryono Setyo Huboyo1, Indrasarimmawati, Penurunan Warna, Cod Dan Tss Limbah Cair Industri Tekstil Menggunakan Teknologi Dielectric Barrier Discharge Dengan Variasi Tegangan Dan Flow Rate Oksigen ,
Program Studi Teknik Lingkungan FT UNDIP, Jl. Prof. H. Sudarto, SH Tembalang Semarang,2 Alumni Program Studi Teknik Lingkungan FT UNDIP
Vol. 7 No.2 September 2009, ISSN 1907-187X
 Saepudin Suwarsa,Penyerapan Zat Warna Tekstil BR Red HE 7B Oleh Jerami Padi+) 
 Jurusan Kimia FMIPA - ITB ,Jl. Ganesa 10 Bandung, 40132
Diterima tanggal 20 Desember 1997, disetujui untuk dipublikasikan 8 Januari 1998

Internet
http://pusdaling.jatimprov.go.id/peraturan/pusdakum/peraturan-menteri-negara-lingkungan-  hidup/file/555-peraturan-menteri-negara-lingkungan-hidup-nomor-3-tahun-2010-tentang-baku-mutu-air-limbah-bagi-kawasan-industri.html?start=60 , ,diakses pada 30 April 2014




[1] Gro Harlem Brutland, dkk, Hari depan kita bersama, Jakarta, Gramedia, 1988, hlm. 282
[2] Tulus TH. Tambunan, Industrialisasi di negara sedang berkembang, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2001, hlm. 42
[3] Emil salim, Pembangunan berwawasan lingkungan, Jakarta, LP3ES, 1986, hlm 209
[4] Sonny Yuliar, Paradigma Produksi Bersih, Bandung, Penerbit Nuansa dan Pusat Penelitian Teknologi ITB, 1999, hlm. 197
[5] Supriadi, hukum lingkungan Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika Offset, 2006, hlm. 183
[6] Penjelasan pasal 21 ayat 1 UU Nomor 5 Tahun 1984 (UU Perindustrian)
[7] Wisnu Arya Wardhana, Dampak pencemaran lingkungan, Yogyakarta, Andi Offset, 1999, hlm. 150
[8] http://green.kompasiana.com/polusi/2013/05/16/limbah-industri-tahu-560580.html
[9] http://teknologikimiaindustri.blogspot.com/2011/02/chemical-oxygen-demand-cod.html
[10] Lihat pasal 20 UU No.32 tahun 2009
[11] Lihat pasal 20 ayat 5 UU No.32 tahun 2009
[12] Hermien hadiati ,hukum pidana lingkungan ,bandung : citra aditya bakti ,1993 ,hlm 86
[13] Lihat pasaal 1 angka 1 UU.No 15 tahun 2006
[14] Ibid ,pasal 1 angka 7
[15] Lihat pasal  48 – 51 UU.No 32 tahun 2009
[16] Ibid ,pasal 63
[17] Ibid ,pasal 46
[18] Syahrull Machmud ,Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia ,yogyakarta :graha ilmu ,2012 ,hlm 80
[19] Andi hamzah ,penegakan hukum lingkungan ,jakarta :sinar grafika ,2005 ,hlm 25
[20] Ibid ,hlm 26
 

my words | Trisna Widyaningtyas | Instagram | Privacy Policy