Kamis, 03 Juli 2014

Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi No.115 tahun 2009

Posted by trisna widyaningtyas at 09.25
Tugas Paper Hukum perburuhan kelas E
Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 115 Tahun 2009
Pengujian Pasal 120 Ayat (1) dan Pasal 121 UU No 13 Tahun 20013 Tentang Ketenagakerjaan



Trisna Widyaingtyas



FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2013


PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara hukum sebagaimana dalam amanat konstitusi yakni dalam Pasal 1 Ayat 3, kemudian ciri dari negara hukum adalah adanya kemampuan perlindungan HAM, peradilan yang tidak memihak, serta adanya kepastian hukum. Dengan demikian salah satu bentuk pelaksanaan hukum adalah pengadaan judiciil review atau pengujian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan menimbulkan kerugian.

Di masa globalissasi yang serba modern ini sangatlah mudah menemukan perusahaan ataupun pabrik yang berdiri kokoh baik di kota besar maupun kota kecil. Yang tentunya perusahaan atau pebrik tersebut memiliki pekerja atau buruh sebagai pihak yang menjalankan perusahaan atas perintah pengusaha atau pemberi kerja. Sehingga timbullah hubungan hukum antara si pemberi kerja atau pengusaha itu dengan pekerja atau buruh mereka. Hubungan kerja ini dilindungi oleh Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

UU No 13 Tahun 2003 hingga saat ini belum dapat dikatakan sempurna, hal ini terbukti dengan sudah ada tujuh kali pengujian UU Ketenagakerjaan yang semuanya diajukan oleh buruh atau serikat buruh. Hanya satu pengujian yang ditolak MK. Selebihnya diterima MK dengan menyatakan pasal tertentu tak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Atau ada juga pasal yang tetap dinyatakan konstitusional sepanjang memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan MK.

  PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara hukum sebagaimana dalam amanat konstitusi yakni dalam Pasal 1 Ayat 3, kemudian ciri dari negara hukum adalah adanya kemampuan perlindungan HAM, peradilan yang tidak memihak, serta adanya kepastian hukum. Dengan demikian salah satu bentuk pelaksanaan hukum adalah pengadaan judiciil review atau pengujian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan menimbulkan kerugian.

Perburuhan dan Ketenagakerjaan adalah salah satu aspek dalam kehidupan terkait bagaimana seseorang bekerja menjalin hubungan dengan pekerja dan dalam tataran praktiknya perburuhan dan ketenagakerjaan memiliki permasalahan kompleks sehingga pada akhirnya dibuatlah regulasi yakni dengan UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Diharapkan dengan demikian tercapailah tujuan hukum yakni keadilan, kepastian, serta kebermanfaatan.

UU No 13 Tahun 2003 hingga saat ini belum dapat dikatakan sempurna, hal ini terbukti dengan sudah ada tujuh kali pengujian UU Ketenagakerjaan yang semuanya diajukan oleh buruh atau serikat buruh. Hanya satu pengujian yang ditolak MK. Selebihnya diterima MK dengan menyatakan pasal tertentu tak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Atau ada juga pasal yang tetap dinyatakan konstitusional sepanjang memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan MK.

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSITUSI NOMOR 115/PUU-VII/2009
Persidangan dilaksanakan pada hari Kamis, 14 Januari 2010, Pukul 14.07– 15.18 WIB dengan 9 Hakim Mahkamah Konstitusi serta dihadiri oleh pihak pemohon yakni Ronald E. Pattiasina (Ketua Umum DPP SP BCA Bersatu) dan Puji Rahmat (Sekretaris Umum SPI BCA Bersatu) yang ditemani tiga orang rekannya, Keduanya mengajukan uji materi atas pasal tersebut atas nama kepentingan pribadi serta sebagai perwakilan dari orang yang memiliki kepentingan yang sama, yang merupakan Serikat Pekerja BCA Bersatu. Proses pesidangan juga dihadiri perwakilan dari pemerintah dan DPR.



1.      N a m a                                    :RONALD EBENHARD PATTIASINA
Tempat tanggal lahir               :Malang, 05 November 1972;
Agama                                     :Kristen;
Pekerjaan                                 :Karyawan Swasta;
Kewarganegaraan                   :Indonesia;
Alamat                                    :Kampung Bojong Jati Nomor 11 RT.003 RW.016 Kelurahan Depok Pancoran Mas, Kota Depok;
Nomor KTP                            :3276010511720001
Nomor Telepon/Faksimili        :021-26892178
Nomor Telepon Seluler           :08567157715
Email                                       :Lbu_mgu@bca.co.id

2.      N a m a                                    : PUJI RAHMAT
Tempat tanggal lahir               : Bojonegoro, 23 Februari 1981;
Agama                                     : Islam;
Pekerjaan                                 : Karyawan Swasta;
Kewarganegaraan                   : Indonesia;
Alamat                                    : Jalan Mustafa VI Nomor 3A RT. 004 RW. 005 Kelurahan Kukusan Kecamatan Beji Kota Madya, Jawa Barat 16425;
Nomor KTP                            : 32.77.72.1004/03445/72013012
Nomor Telepon/Faksimili        : 021-23588000 ext. 22236
Nomor Telepon Seluler           : 081210002336
Email                                       : puji_rahmat@bca.co.id

Baik untuk atas nama pribadi maupun sebagai perwakilan dari kelompok orang yang memiliki kepentingan yang sama, yang dalam hal ini adalah:
N a m a                        : Serikat Pekerja BCA Bersatu;
Nomor Pencatatan      : 519/V/P/VII/2007 pada Suku Dinas Ketenagakerjaan Jakarta   Selatan;
Alamat Koresponden : PT. Bank Central Asia Menara BCA Lantai 22 Grand Indonesia Jalan M.H. Thamrin Nomor 1 Jakarta Pusat 10310

Pemohon dalam hal ini berkedudukan sebagai perorangan warga negara sesuai dengan pasal 51 ayat 1 UU MK yang mewakili organisasi BCA dimana Ronald EbenHard adalah ketua umum berdasarkan Surat Ketetapan Musyawarah Nasional Luar Biasa (MUNASLUB) SP BCA Bersatu di Tretes, Pasuruan pada tanggal 05 sampai dengan 07 Maret 2009 dengan Nomor Keputusan 009/MUNASLUB/SP BCA BERSATU

Terdapat 15 (lima belas) alasan yang pada pokoknya menyatakan bahwa Pemohon mempunyai kedudukan hukum dan dasar kepentingan untuk mengajukan permohonan pengujian UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945, karena mempunyai kepentingan secara langsung karena akan menerima dampak secara langsung dari pelaksanaan dari pasal 120 Ayat (1) dan Pasal 121 UU No 13 Tahun 2003

Duduk perkara dari pengujian UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah terhadap pasal 120 ayat (1) yang berbunyi :
Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serik\at buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan pengusaha yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut;
           
Penjabaran ketentuan terkait pasal 120 UU No 13 Tahun 2003 dalam ayat (2) ketika tidak memenuhi ayat (1) dalam praktiknya tidak pernah diperhatikan. Pemohon mempermasalahkan hak konstitusionalnya yang diamanatkan dalam pasal 28 UUD NRI 1945 “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang” dan pasal 28E ayat 3 UUD NRI 1945 “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” yang diciderai terkait adanya pasal ini  dikarenakan perusahaannya memiliki jumlah anggotanya kurang dari 51% dari total seluruh sehingga karyawan menjadi kehilangan hak untuk menyampaikan aspirasi melalui perundingan perumusan Perjanjian Kerja Bersama di PT Bank Central Asia Tbk, pengertian Perjanjian Kerja Bersama berdasarkan Pasal 1 Angka 21 UU No 13 Tahun 2013 :
Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.    
                       
Dalam pelaksanaan hubungan kerja tersebut agar pekerja lebih mendapatkan kepastian hukum berupa hak dan kewajibannya dari perusahaan begitu sebaliknya maka perusahaan pasti memiliki peraturan perusahaan yang berisi syarat kerja yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan.[1] Selain itu diperlukan juga adanya perjanjian kerja bersama  yang merupakan hasil perundingan antara serikat buruh atau beberapa serikat buruh yang tercatat dalam instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.[2]

Serikat kerja sendiri diatur dalam undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat pekerja atau Serikat buruh. Dalam Undang-undang tersebut pasal 1 angka 1 dijelaskan bahwa Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya

             Duduk perkara selanjutnya adalah pemohon juga meminta Mahkamah Konstitusi untuk menambahkan/menyempurnakan klausul dalam Pasal 121 UU 13 Tahun 2003 menjadi sebagai berikut “Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal 120 dibuktikan dengan kartu tanda anggota atau formulir keanggotaan dengan mekanisme yang transparan, terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum”

PETITUM :
1.      Mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya;
2.      Menyatakan Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2);
3.      Menyatakan Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4.      Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadiladilnya (ex aequo et bono)
            Dalam proses persidangan DPR dan Pemerintah menyampaikan secara lisan ketidaksepakatan dengan pemohon sebagai berikut:

Keterangan pemerintah (opening statement) - Diterangkan pada persidangan tanggal 14 Januari 2010:
  • Menurut Pemerintah,  anggapan Pemohon yang menyatakan ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut telah membatasi, menghambat, menghilangkan dan mendiskriminasikan hak-hak Pemohon adalah tidak tepat, karena pada kenyataannya Pemohon tidak dalam posisi/situasi yang terganggu, terkurangi maupun terhalang-halangi untuk bebas berkumpul, berserikat maupun mengeluarkan pendapat sebagaimana dijamin oleh konstitusi;
·         Pemerintah juga tidak sependapat dengan anggapan Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan tersebut di atas telah memberikan perlakuan dan pembatasan yang bersifat diskriminatif terhadap Pemohon, karena pembatasan yang demikian telah sejalan dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD yang menyatakan bahwa "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis";

·         Berkaitan dengan kedudukan hukum (legal standing) pemohon, pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua Majelis MK untuk mempertimbangkan dan menilainya.

·         Pemerintah memohon kepada Majelis Mahkamah Konstitusi yang mengadili dapat memberikan putusan sebagai berikut :
1.      Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing);
2.      Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);
3.      Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
4.      Menyatakan ketentuan Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 UU 13/2003 tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
Pendapat DPR RI
  1. Terhadap kedudukan hukum pemohon
Putusan perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan perkara
Nomor 011/PUU-V/2007, sebagai berikut:
1.      Adanya hak konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
2.      Hak konstitusional pemohon tersebut dianggap oleh pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-undang yang diuji;
3.      Kerugian konstitusional pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potential yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
4.      Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dari berlakunya UU yang dimohonkan untuk diuji;
5.      Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam mengajukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak Pemohon. walaupun Pemohon sudah memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) .
Penjelasannya UU 24/2003, namun berdasarkan batasan kerugian konstitusional yang ditetapkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, DPR berpendapat bahwa pada kenyataannya tidak terdapat kerugian konstitusional ataupun berpotensi menimbulkan kerugian terhadap Pemohon oleh berlakunya ketentuan Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 UU 13/2003.
DPR berpendapat bahwa ketentuan Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 UU 13/2003 tidak merugikan hak konstitusional Pemohon sebagaimana dijamin Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, Pemohon dalam permohonan a quo tidak memilikikedudukan hukum (legal standing) sebagaimana disyaratkan Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003 dan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-111/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007 terdahulu.
  1. Terhadap pokok perkara
Terhadap hal-hal yang dikemukakan para pemohon tersebut DPR memberi keterangan sebagai berikut :
  • Terhadap butir-butir 1, 3, 4, 5 (a, b, c, d), 6, antara lain
    1. Bahwa DPR tidak sependapat dengan dalil Pemohon yang menyatakan, ketentuan
Pasal 20 ayat (1) UU 13/2003 yang hanya memberikan hak berunding kepada hanya satu serikat pekerja dengan jumlah anggota Iebih dari 50% dalam perundingan perjanjian kerja bersama (PKB) di dalam perusahaan telah secara nyata mengandung materi muatan yang bersifat membatasi, menghambat, menghilangkan dan mendiskriminasikan hak-hak Pemohon sesuai dengan fungsi dan tujuan dibentuknya serikat pekerja di dalam perusahaan, sehingga dianggapnya bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3) dan Pasal  28I ayat (2) UUD 1945;



    1. DPR berpandangan bahwa ketentuan
Pasal 120 ayat (1) Undang-Undang a quo tidak membatasi, menghalangi,menghambat, mengurangi dan mendiskriminasi hak konstitusional Pemohon dalam kebebasan berorganisasi dan berserikat serta menyampaikan pendapat, karena pada pokoknya ketentuan Pasal 120 ayat (1) Undang-Undang a quo adalah mengatur sistem keterwakilan dari serikat pekerja/serikat buruh.
Bagaimana mengatur keterwakilan tersebut, tentu kita perlu menentukan sistem, salah satunya yaitu dengan memperhatikan jumlah. Dalam Undang-Undang a quo diatur berdasarkan sistem mayoritas untuk mewakili pekerja/buruh dalam perundingan perjanjian kerja bersama, yang mensyaratkan memiliki jumlah keanggotaannya Iebih dari 50% dari seluruh jumlah pekerja/buruh pada perusahaan tersebut. Oleh karena itu sistem keterwakilan mayoritas ini merupakan hal yang lazim dan wajar dalam negara yang demokratis
Bahwa berdasarkan pada dalil-dalil tersebut di atas, DPR memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
1.      Menyatakan Pemohon a quo tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);
2.      Menyatakan menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya permohonan a quo tidak dapat diterima;
3.      Menyatakan menerima Keterangan DPR untuk seluruhnya;
4.      Menyatakan Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
5.      Menyatakan Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat;
            Pada akhirnya berdasarkan perimbangan hakim Mahkamah Kosntitusi terkait kedudukan pemohon serta permohonan dan penyampaian dari pihak DPR dan Pemerintah. Mahkamah Konsitusi mengeluarkan putusan nomor 115/PUU-VII/2009 dengan amar putusan untuk mengabulkan sebagian:
  • Menyatakan permohonan Pemohon dikabulkan untuk sebagian;
  • Menyatakan Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  • Menyatakan Pasal 120 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang:
    1. frasa, “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak terpenuhi, maka...”, dihapus, sehingga berbunyi, “para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masingmasing serikat pekerja/serikat buruh”, dan
    2. ketentuan tersebut dalam angka (i) dimaknai, “dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, maka jumlah serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili dalam melakukan perundingan dengan pengusaha dalam suatu perusahaan adalah maksimal tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan”;
  • Menyatakan Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
  • Menyatakan Pasal 120 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang:
    1. frasa, “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak terpenuhi, maka...”, tidak dihapuskan, dan
    2. ketentuan tersebut tidak dimaknai, “dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, jumlah serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili dalam melakukan perundingan dengan pengusaha dalam suatu perusahaan adalah maksimal tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan”;
  • Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
  • Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya



Akibat Hukum dari putusan MK Nomor 115/PUU-VII/2009
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan No. Nomor 115/PUU-VII/2009 mengenai kedudukan serikat pekerja dalam membuat Perjanjian Kerja Bersama (yang selanjutnya disebut PKB). Keputusan MK tersebut di keluarkan sehubungan dengan gugatan yang dilakukan oleh Serikat Pekerja Bersatu Bank Central Asia (SPB-BCA). Sehingga dengan dikeluarkan putusan meninmbulkan akibat hukum tersendiri bagi penerapan UU No 13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan.

Amar Putusan MK NO 115/PUU-VII/2009 yang mengabulkan secara sebagaian menyatakan bahwa Pasal 120 ayat (1) dan (2) bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan terjadi perubahan dengan penghapusan frasa “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak terpenuhi, maka…” di Pasal 120 ayat  (3) yang sebelumnya berbunyi “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak terpenuhi, maka para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masingmasing serikat pekerja/serikat buruh.” Menjadi “Para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masingmasing serikat pekerja/serikat buruh

Kemudian dalam Pembuatan Penjajian Kerja Bersama (PKB) Mengacu pada Permenakertrans Nomor PER.16/MEN/XI/2011 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama

Maka berdasarkan Putusan MK :

dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, maka jumlah serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili dalam melakukan perundingan dengan pengusaha dalam suatu perusahaan adalah maksimal tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan”;

Implikasi yuridis atas perubahan adalah apabila dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, maka jumlah serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili dalam melakukan perundingan dengan pengusaha dalam suatu perusahaan adalah maksimal tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan”. Kemudian jika tidak memenuhi prasyarat dapat tetap ikut dalam perundingan pembentukan Perjanjian Kerja Sama (PKB) dengan mengadakan koalisi


Sumber Referensi

Abdul Rachmad Budiono, Hukum Perburuhan, Jakarta : INDEKS, 2011

www.mahkamahkonstitusi.go.id



           



[1] Hukum perburuhan, abdul rachmad budiono, hal 101
[2] Ibid, hal 106
 

my words | Trisna Widyaningtyas | Instagram | Privacy Policy