Kamis, 03 Juli 2014

Pengantar Hukum Pajak

Posted by trisna widyaningtyas at 10.27
A.  Pendahuluan  


A.1 Pengertian
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.[1]. Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Mengapa kita harus membayar pajak? Jawaban yang bisa timbul adalah kita membayar pajak agar tersedia sarana (fasilitas) umum yang dapat digunakan bersama atau kita membayar pajak karena kita sudah terlebih dahulu menikmati sarana umum tersebut.  Penyediaan sarana dan prasarana publik yang kita manfaatkan hanya dapat terjadi karena peran pemerintah yang membutuhkan pengorbanan besar mengumpulkan dana guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kemakmuran generasi mendatang sangat tergantung pada investasi generasi sekarang ini berupa padaberupa penyediaan segala macam sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk menggerakkan roda ekonomi. Semua sarana dan prasarana umum tersebut hanya dapat tersedia bila ada pajak.
Hanya melalui sumber pembiayaan dari pajak maka Negara dapat menyediakan sarana dan prasarana untuk masyarakatnya. Swasta tidak mungkin bisa melakukan apa yang dapat dilakukan oleh Negara, karena konsep bisnis atau usaha yang dilakukan oleh swasta hanya untuk kepentingan sekelompok mereka saja. Untuk itu pembayaran pajak yang kita lakukan adalah guna meningkatkan tingkat kehidupan generasi mendatang. Dengan kata lain, kemajuan suatu bangsa amat ditentukan melalui kesadaran memahami dan membayar pajak dengan benar.

A.2 Fungsi dan peran pajak.
 A.2.1 Fungsi Anggaran
        Memasukkan uang ke kas negara sebanyak -banyaknya untuk keperluan belanja negara .Dalam hal ini lebih difungsikan untuk menarik dana dari masyarakat untuk dimaksukkan dalam kas negara.
A.2.2 Fungsi Mengatur 
       Pajak berfungsi sebagai alat penggerak masyarakat dalam perekonomian untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.Sehingga  fungsi mengatur menggunakan pajak untuk mendorong dan mengendalikan kegiatan masyrakat agar sejalan engan rencana dan keinginan masyarakat.
A.2.3 Fungsi sosial 
       Hak milik seseorang harus diakui dan pemanfaatnaya.Sehingga besarnya pajak harus disesuaikan dengan kekuatan seseorang untuk dapat mencapai pemuasan kebutuhan setinggi - tingginya setelah dikurangi untuk kebutuhan primer.
A.3 Sistem pemungutan
System pemungutan pajak dapat dibagi menjadi :
1.    Official assessment system
System ini merupakan system pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiscus) untuk menentukan besarnya pajak yang terhutang. Pemerintah( fiscus) menentukan besarnya terhutang.
 Ciri-ciri official assessment system:
 a.    Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiscus
 b.    Wajib pajak bersifat pasif
 c.    Utang pajak timbul setekah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiscus
2.   Self assessment system
System ini merupakan system pemungutan pajak yang memberi wewenang , kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Menyadari akan kelemahan-kelemahan sistem pemungutan pajak sebagaimana dikemukakan di atas, maka dipandang perlu untuk melaksanakan sistem pemungutan pajak yang lebih sempurna, yang lebih efektif dan efisien dan yang memncerminkan pula kegotong-royongan nasional.
Dengan sistem ini pada awal tahun pajak menentukan sendiri secara aktif menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri pajaknya. Fiskus tidak ikut campur tangan dalam penentuan besarnya pajak yang terhutang kecuali wajib pajak melanggar ketentuan undang-undang perpajakan, maka yang bersangkutan dikenakan sanksi administrasi ( bunga, denda, atau kenaikan ) atau sanksi pidana sebagai ditentukan dalam Pasal 28 atau 29 Undang-Undang KUHP.
 3.    With Holding System
System ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
A.4 Penggolongan pajak.
A.4.1  Berdasarkan Administratif Perpajakan Dilihat dari Segi Ekonomis dan Yuridis
A.4.1.2 Pajak Langsung
  • Segi yuridis ; Pajak yang dipungut secara periodik (berulang) berdasarkan suatu penetapan dan berkohir .Ex:PPh 
  • Segi Ekonomis : Beban pajaknya tidak boleh dilimpahkan pada orang lain.
A.4.1.2 Pajak Tidak Langsung 
  • Dari Segi Ekonomis : pihak wajib pajak dapat mengalihkan beban pajaknya kepada pihak lain ,artinya antara mereka yang menjadi wajib pajak dengan yang benar - benar memikul beban beban pajak itu merupakan pihak yang berbeda. 
          Ex: PPN ,pajak dikenakan pada pengusaha kena pajak.Dalam hal ini yang menjadi wajib pajak adalah pengusaha kena pajak itu sendiri,sehinga yang benar - benar memikul pajak  adalah konsumen yang membeli barang tersebut.
  • Dari segi yuridis : Pajak yang dipungut secara isendital saat adanya tatbestand (berupa suatu keadaan ,perbuatan,dan peristiwa yang mengakibatkan utang pajak timbul )
           Ex : bea materai ,PPn atas barang jasa.

A.4.2 Berdasarkan Sifat Pajak
A.4.2.1 Pajak Perseorangan 
       Pajak yang dalam penetapanya memperhatikan dari diri serta keluarganya .Misalnya status wajib pajak kawin atau tidak,berpa tanggunganya dalam keluarga sehingga itu menentukan kemampuan membayar dari  wajib pajak.
A.4.2.2 Pajak Kebendaan 
         Pajak yang dipungut tanpa memperhatikan diri dan keadaan wajib pajak merupakan jenis pajak tidak langsung .Misalnya : bea materai. 

A.4.3 Melalui titik tolak pemungutuanya
A.4.3.1 Pajak Subyektif 
         Dimulai dengan menetapkan orangnya baru kemudian mencari syarat -syarat  obyeknya .Misalnya ,PPh 
A.4.3.2 Pajak Obyektif 
         Pajak yang pengenannya bertitik tolak pada obeyk pajak yang dikenai dan untuk mengenakan pajakna harus dicari subyeknya.Sehingga yang harus dilihat adalah obyeknya dulu kemudian mencari orang subyeknya.

A.4.4 Melalui Kewenangan Pemungutanya
A.4.4.1 Pajak negara ,yang berda di pusat .Misalnya :PPh.PBB,bea materai ,bea lelang, bea masuk dan cukai 
A.4.4.2 Pajak Daerah yang berada di Provinsi atau Kabupaten dan Kota .Misalnya terdapat dalam UU.34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam pasal 2.

B.  Pendapatan Negara dari Sektor Pajak
B.1Pajak Penghasilan
Setiap orang yang sudah memiliki penghasilan atau pihak ketiga wajib untuk dibebankan pajak kepadanya. Pajak penghasilan sendiri adalah pajak langsung dari Pemerintah Pusat yang dipungut atas penghasilan dari semua orang yang ada di wilayah Republik Indonesia. Pajak penghasilan merupakan pajak yang dipungut secara periodik, pada akhir tahun (setelah tahun pajak berakhir). Pajak penghasilan merupakan pajak baru pada tahun 1984 dalam rangka Tax Reform dan menggantikan Pajak Pendapatan (1944) dan Pajak Perseroan (1925) mengenakan laba yang diperoleh badan – badan serta perseroan – perseroan.
1)     Sifat Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan yang dikenakan untuk perorangan, sifatnya adalah subjektif dan persoonlijk karena beban pribadi dan status wajib pajak ikut menentukan besarnya jumlah pajak. Tetapi apabila pajak yang dikenakan untuk perseroan, maka sifatnya adalah onjektif atau zakelijk, karena keadaan subjek badan/perseroan sama sekali tidak diperhatikan.
2)     Penghasilan, Obyek PPh Ps. 1 UU No. 7 Tahun 1983
Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh wajib pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar negri, selama satu tahun pajak yang dapat dipakai untuk konsumsi dan untuk menambah kekayaan (Pasal 4 ayat 1 UU PPh). Di dalamnya termasuk pembayaran – pembayaran :
a.    Gaji, upah, uang komisi, bonus, gratifikasi uang pensiun, dan pembayaran lainnya sebagai imbalan kerja atau jasa.
b.    Honorium, hadiah undian dan penghargaan.
c.    Laba bruto usaha.
d.    Keuntungan yang diperoleh karena penjualan atau pengalihan harta milik pribadi atau milik perusahaan/badan serta yang diperoleh karena likwidasi.
e.    Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah diperhitungkan sebagai biaya.
f.     Bunga dari pinjaman.
g.    Dividen dengan nama atau dalam bentuk apapun yang dibayarkan oleh PT, atau oleh perusahaan asuransi kepada para pemegang polis dan pembagian sisa Hasil usaha koperasi kepada para pengurusnya da pengembalian sisa Hasil Usaha kepada para anggotanya.
h.    Royality.
i.      Sewa dari hata baik dari harta gerak maupun harta tak gerak.
j.      Penerimaan pembayaran berkala, seperti tunjangan seumur hidup.
k.    Keuntungan karena pembebasan hutang.
Pembayaran yang tidak termasuk obyek PPh ialah antara lain harta hibahan, hadiah yang tidak bertalian dengan jabatan, warisan, pembayaran dari asuransi kecelakaan, sakit jiwa dan pembayaran beasiswa, pemberian berupa natura dari pemberi kerja, penghasilan yayasan dari usaha yang semata – mata ditujukan untuk kepentingan umum dan penghasilan yayasan dari modal yang semata – mata digunakan untuk kepentingan umum, pembagian keuntungan dari firma dan lain – lain.
3)     Subyek Pajak Penghasilan 1984 Ps. 2 UU No. 7/Th. 1983 Yang menjadi subyek Pajak Penghasilan 1984 adalah :
a.    Orang pribadi
b.    Badan – badan seperti PT, Firma, CV, Koperasi, Maatschappij, Persekutuan, Organisasi, Yayasan
c.    Warisan yang belum terbagi
d.    Bentuk Usaha Tetap
Orang merupakan subyek pajak dalam negri jika ia bertempat tinggal di Indonesia atau ada di Indonesia untuk jangka waktu yang melebihi 183 hari.
4)    Bukan Subyek Pajak Penghasilan (Ps. 3 UU no. 7/Tahun 1983). Tidak merupakan subyek Pajak Penghasilan 1984 adalah :
a.     Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat negara asing dengan syarat bahwa mereka bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak melakukan pekerjaan lain atau melakukan kegiatan usaha, serta negara asing itu sebagai resiprositas juga memberikan pembebasan yang sepadan kepada wakil diplomatik dan konsuler Indonesia.
b.     Kelompok UNDP kelompok kerjasama teknik bilateral, kelompok Colombo plan, kelompok kerjasama kebudayaan kelompok organisasi swasta internasional dan kelompok Seameo.
c.      Perusahaan Jawatan Kereta Api dan Perusahaan Jawatan Pegadaian.
5)  Penghitungan Penghasilan Kena Pajak (Ps. 6 UU no. 7/Tahun 1984)
Untuk menghitung penghasilan wajib pajak pribadi, perorangan yang kena pajak harus diketahui lebih dulu :
a.    Penghasilan suami yang berasal dari pekerjaan dalam hubungan dinas atau perburuhan yang dipotong PPh oleh pmberi kerja/majikan berdasarkan Ps. 21 UU PPh.
b.    Penghasilan suami yang berasal dari usaha, atau profesi, yang tidak dipotong pajak.
c.    Penghasilan suami yang berasal dari harta tak gerak.
d.    Penghasilan suami yang berasal dari modal bergerak.
e.    Penghasilan suami istri dari upah atau gaji yang sudah dipotong PPh oleh Pemberi kerja.
f.     Penghasilan istri yang berasal dari usaha atau pekerjaan bebas, yang tidak dipotong pajak.
g.    Dan penghasilan istri yang tercantum seperti bagian c, d, dan e.
h.    Susunan keluarga yang diperlukan untuk menentukan jumlah PTKP sesuai pasal 7 :
·      Rp. 960.000,- untuk diri wajib pajak suami
·      Rp. 480.000,- untuk istri wajib pajak
·      Rp.480.000,- untuk setiap anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis lurus. Paling banyak diperkenakan 3 orang.
·      Rp. 960.000,- sebagai tambahan bila sang istri mempunyai penghasilan dari usaha sendiri atau dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lain.
Sebelum jumlah – jumlah tersebut dijumlahkan menjadi satu, maka perlu diperhatikan terlebih dahulu bahwa untuk perkerjaan/jabatan ada biaya jabatan yang jumlahnya 5% dari penghasilan bruti paling tinggi Rp. 360.000,- setahun atau Rp. 30.000,- sebulan.
                         Ada 4 golongan yang persentase penyusutannya berlainan :
ü  Golongan I dengan masa manfaat tidak lebih dari 4 tahun, disusutkan 50% setahun
ü  Golongan II dengan masa manfaat lebih dari 4 tahun tapi tidak lebih dari 8 tahun, tarif penyusutan 25%
ü  Golongan III dengan masa manfaat lebih dari 8 tahun penyusutan 10%
ü  Golongan IV bangunan dan harta tak bergerak lainnya penyusutan 5% (Pasal 11 ayat 3 jo.9)
6)  Self Assessment
Metode Self Assessment adalah wajib pajak dalam SPT itu berasarkan data yang terdapat pada SPT, menghitung dan menetapkan sendiri jumlah pajak yang terutang, tanpa ikut campur tangan kantor Inspeksi Pajak.
B.2 Pajak Pertambahan Nilai  dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
B.2.1 PPN (Pajak Pertambahan Nilai)
Peraturan perundang-undangan yang mengatur Pajak pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) adalah Undangn-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Penjualasn atas Barang Mewah, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 dan diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000. Sehingga Hukum Positif yang berlaku bagi PPN dan PPnBM adalah UU No 18 Tahun 2000.[2]
Pajak Pertambahan Nilai merupakan salah satu macam pajak yang dikenal dengan nama PPN. Pajak jenis ini seringkali kita temui di tempat makan (Restoran), tempat belanja (Mall), dan sebagainya. Pajak jenis ini adalah pajak yang dikenakan atas :[3]
a.    Penyerahan barang Kena Pajak di dalam Daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha
b.    Impor barang kena Pajak
c.    Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha
d.    Pemanfaatan Barang kena Pajak tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
e.    Pemanfaatan Jasa kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
f.     Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
g.    Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
h.    Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak
Selain itu PPn juga memiliki karakteristik sebagai berikut :[4]
1.    Pajak pertambahan nilai merupakan pajak atas konsumsi barang atau jasa yang dikonsumsi di dalam negeri sehingga:
a.   Barang atau jasa yang diproduksi di luar negeri namun dikonsumsi di dalam negeri dikenai PPN.
b.   Barang atau jasa yang diproduksi di dalam negeri namun dikonsumsi di luar negeri tidak dikenai PPN.
c.   PPN dibebankan kepada konsumen, sedangkan pihak yang ditunjuk untuk memungut PPN adalah pengusaha yang menyerahkan barang atau jasa.
2.    Barang atau Jasa yang dikenai PPN disebut Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP), dan pengusaha yang diwajibkan menmungut PPN disebut Pengusaha Kena Pajak
3.    PPN adalah pajak objektif sehingga pengenaan PPN hanya berdasarkan objeknya dan tidak memperhatikan subjek atau pihak yang melakukan konsumsi
4.    PPN harus bersifat netral dalam perdagangan dalam negeri dan luar negeri sehingga memberikan perlakuan yang sama atas suatu transaksi baik di dalam negeri ataupun di luar negeri, dan tidak boleh bersifat distorsi dalam perdagangan.
5.    Dll
Subjek dalam Pajak Pertambahan Nilai barang dan Jasa adalah Pengusaha Kena Pajak, hal tersebut sesuai dengan UU no 18 tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Pengusaha ini wajib melaporkan usahanya kepada pejabat pajak di tempat pengusaha itu bertempat tinggal atau tempat kedudukan usaha itu, dalam jangka waktu 30 hari sejak usaha dimulai untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Sehingga PKP merupakan pengusaha yang melakukan penyerahan barag Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.[5]
Selain itu ada juga Pengusaha Kecil yaitu pengusaha yang melakukan penyerahan barang kena pajak dengan jumlah nilai peredaran bruto tidak lebih dari 240 juta/tahun atau jasa kena pajak tidak lebih dari 120 juta/tahun. Sehingga atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, pengusaha kecil dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Namun jika Pengusaha kecil memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP, maka diwajibkan padanya untuk memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang.[6]
Pada dasarnya semua barang dan jasa merupakan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak, sehingga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kecuali jenis barang dan jenis jasa sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4A Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tidak dikenakan PPN, yaitu: [7]
                      i.        Jenis Barang Yang Tidak Dikenakan PPN
Ø  Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya
Ø  Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak,
Ø  Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak; tidak termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha katering atau usaha jasa boga.
Ø  Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
                    ii.        Jenis Jasa Yang Tidak Dikenakan PPN
Ø Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik,
Ø Jasa di bidang pelayanan sosial,
Ø Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko yang dilakukan oleh PT. Pos Indonesia (Persero)
Ø Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi,
Ø Jasa di bidang keagamaan,
Ø Dll.
Pajak pertambahan nilai  dikenakan atas pertambahan nilai dari barang yang duhasilkan atau diserahkan oleh Pengusaha kena Pajak. Dan secara umum pajak dipungut secara bertingkat pada jalur produksi dan distribusi dengan tidak aa unsur pemungutan pajak berganda. Sistem pajak pertambahan nilai adalah sbb :[8]
1.            Dikenakan atas penyerahan
2.            Dipungut secara bertingkat pada jalur produksi dan distribusi
3.            Mekanisme kredit pajak (metode faktur pajak)
B.2.2 Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan sesuai dengan daya pikul wajib pajak yang mampu membeli barang mewah, dianggap wajib bila dibebani pajak yang lebih besar. Hal ini bertujuan agar bisa mengembalikan pola konsumsi mewah bagi masyarakat dan juga untuk mewujudkan solidaritas sosial sehingga pada suatu saat nanti pola konsumsi mewah tersebut dapat dialihkan ke  investasi yang lebih produktif. Pajak ini dikenakan disamping pajak pertambahan nilai, yang artinya atas penyerahan atau impor barang mewah pertama-tama akan dikenakan PPN dan sebagai tambahannya dikenakan lagi pajak penjualan atas baranh mewah.[9]
            Pengenaan pajak ini tidak dikenakan pada keseluruhan penyerahaan barang mewah. Melainkan hanya dilakukan terhadap penyerahan yang dilakukan oleh :[10]
a.    Orang atau badan yang memang pekerjaannya atau usahanya membuat barang mewah
b.    Siapapun yang mengimpor barang mewah tanpa memperhatikan a[akah impor tersebut dilakukan terus menerus atau dilakukan hanya satu kali.
Selain itu Pajak penjualan barang mewah ini memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut :[11]
a.    PPnBM dikenakan untuk mengurangi sifat regresif PPN sebagai pajak objektif yang tidak memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan konsumsi
b.    PPnBM dikenakan hanya sekali pada tingkat barang yang tergolong mewah tersebut dihasilkan. Pihak yang meghasilkan barang mewah tersebut dapat produsen dalam negeri maupun luar negeri.
c.    Barang yang tergolong mewah yang dihasilkan di dalam negeri wajib dipungut PPnBM oleh produsen yang bersangkutan, sedangkan yang berasal dari luar negeri dan dikonsumsi di dalam negeri wajib dipungut dan disetor oleh pihak yang melakukan impor.
d.    Untuk memberikan kepastian hukum, jenis BKP yang tergolong mewah ditetapkan oleh UU PPN beserta peraturan pelaksanaannya
e.    Transaksi yang terutang PPnBM juga akan terutang PPN.
Karena PPnBM ini hanya sebagai tambahan bagi barang yang terkena PPN, maka sudah jelas bahwa barang yang terkena PPnBM hanyalah barang-barang tertentu yang tergolong mewah. Menurut pasal 5 UU No 18 Tahun 2000 yang termasuk BKP yang tergolong barang mewah adalah sbb:[12]
a)    Barang mewah tersebut bukan barang kebutuhan pokok
b)    Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
c)    Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi
d)    Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status
e)    Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat serta mengganggu ketertiban masyarakat, seperti minuman alkohol.
Akan tetapi ada pula tarnsaksi Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah namun dibebaskan dari PPnBM, yaitu :[13]
1.    Kendaraan Ambulans, Kendaraan Jenazah, kendaraan Pemadam Kebakaran, kendaraan Tahanan, Kendaraan Angkutan Umum
2.    Kendaraan protokoler Kenegaraan
3.    Kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 orang sampai dengan 15 orang termasuk pengemudi yang digunakan untuk kendaraan dinas TNI/Polri
4.    Kendaraan Patroli TNI/Polri.
B.3 Pajak Perolehan Hak Atas Tanah
Menurut undang-undang nomor 20 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN.  Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Sedangkan Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan,  beserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor  5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Yang menjadi objek pajak bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan meliputi:
a.         Pemindahan hak karena:
1.            jual beli;
2.            tukar-menukar;
3.            hibah;
4.            hibah wasiat;
5.            waris;
6.            pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
7.            pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8.            penunjukan pembeli dalam lelang;
9.            pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10.         penggabungan usaha;
11.         peleburan usaha;
12.         pemekaran usaha;
13.         hadiah.
b.         Pemberian hak baru karena :
                                    1.         kelanjutan pelepasan hak;
                                    2.         diluar pelepasan hak.
Pasal 3 UU no 20 tahun 2000
(1)       Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh :
a.    perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
b.    Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
c.    badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
d.    orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
e.    orang pribadi atau badan karena wakaf;
f.     orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
(2)       Objek pajak yang diperoleh karena waris, hibah wasiat, dan pemberian hak pengelolaan pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah."
"Pasal 23
1)    Penerimaan negara dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh  persen) untuk Pemerintah daerah yang bersangkutan. 
1.a)     Bagian Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dibagikan kepada seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota secara merata.

2)    Bagian Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Propinsi yang bersangkutan dan 80% (delapan puluh persen) untuk Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

3)    Tatacara pembagian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (1a), dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri."
B.4 Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Ø  Pengertian Dasar
Pajak Bumi dan Bangunan adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.[14] Pengertian dasar yang berkaitan dengan PBB adalah sebagai berikut :
Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya.
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.[15]
Ø  Subjek Pajak Bumi dan Bangunan
Yang menjadi wajib pajak PBB adalah orang pribadi atau badan yang memiliki hak dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Wajib pajak memiliki kewajiban membayar PBB yang terutang setiap tahunnya. PBB harus dilunasi paling lambat 6(enam) bulan sejak di terimanya SPPT  oleh wajib pajak. [16]
Ø  Objek PBB
PBB juga memiliki objek yang sama dengan Objek dalam Pajak biasa, yaitu bumi dan/atau bangunan, termasuk juga unit tempat usaha, perumahan dan apartemen, seperti tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Tentang Ekstensifikasi Wajib Pajak Orang Pribadi melalui Pendataan Objek
Dalam PBB objek pajak dapat berupa bumi dan/atau bangunan, selain itu unit tempat usaha, perumahan dan apartemen. Selain itu ada beberapa objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan, diantaranya adalah :
*      Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, social, kesehatan, pendidikan dan kebundayaan nasional yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan. Contohnya : Pesantren, atau sejenis dengan madrasah, tanah wakaf dan rumah sakit umum.
*      DIgunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu.
*      Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, taman penggembalaan yang dikuasai oleh desa dan tanah Negara yang belum dibebani suatu hak.
*      Digunakan oleh perwakilan diplomatic, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbale balik.
*      Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.[17]
Ø  Tarif Pajak Bumi dan Bangunan
Tarif pajak yang dikenakan atas segala objek pajak bumi dan bangunan adalah sebesar 0,5%
Ø  Dasar Pengenaan dan Cara Menghitung PBB
Dasar Pengenaan pajak terlihat dari Nilai Jual Objek Pajak atau yang biasa disebut NJOP. Besar dari NJOP sendiri ditentukan tiap 3 tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkam setiap tahun sesuai dengan perkembangan daerahnya. NJOP meliputi nilai jual permukaan bumi (tanah, perairan pedalaman serta wilayah Indonesia) beserta kekayaan alam yang berada diatas maupun di bawahnya, dan/atau bangunan yang melekat di atasnya.
Untuk objek pajak sector pedesaan dan perkotaan yang tidak bersifat khusus NJOPnya di tentukan berdasarkan nilai indikasi rata-rata yang diperoleh dari hasil penilaian secara massal. Sedangkan untuk besarnya NJOP pada sector perkebunan, kehutanan, pertambangan, serta usaha bidang perikanan, peternakan dan perairan untuk areal produksi dan/atau areal belum produksi, ditentukan berdasarkan nilai jual permukaan bumi dan bangunan, ditambah dengan nilai standar investasi atau nilai jual pengganti atau dihitung secara keseluruhan berdasarkan nilai jual pengganti.
Ada juga objek pajak yang bersifat khusus yaitu objek pajak yang letak, bentuk, peruntukan dan atau penggunaannya mempunyai sifat dan karakteristik khusus. Objek pajak tertentu yang bersifat khusus, NJOPnya dapat ditentukan berdasarkan nilai pasar yang dilakukan oleh pejabat fungsional penilai secara individual. [18]
Ø  Jatuh Tempo dan Tempat Pembayaran PBB
Pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang harus dilunasi selambat-lambatnya enam bulan sejak diterimanya SPPT oleh wajib pajak.
Tempat Pembayaran PBB adalah Bank Umum/Kantor Pos yang ditunjuk oleh Menteri keuangan untuk menerima pembayaran PBB dan memindahbukukan ke Bank Persepsi/Pos Persepsi.
Ø  Pengurangan atas PBB Terutang
Pengurangan PBB diberikan atas pajak terutang yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau Surat Ketetapan Pajak. Permohonan Pengurangan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang menerbitkan SPPT atau SKP dengan mencantumkan besarnya presentase pengurangan yang dimohonkan.
Ada pula pengurangan atas wajib pajak yang besar pengurangannya adalah 75% dari besarnya pajak terutang, yaitu :
-          Wajib pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak dan atau karena sebab-sebab tertentu lainnya.
-          Wajib pajak orang pribadi atau badan dalam hal objek pajak yang terkena bencana alam dan sebab-sebab lain yang luar biasa.
-          Wajib pajak anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan.[19]
Ø  Pembagian hasil penerimaan PBB
Dari penerimaan pajak yang menjadi penerimaan Negara, dapat dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan perhitungan pembagian sekurang-kurangnya 90% untuk Pemerintah Daerah Tingkat I dan II sebagai dana pendapatan daerah yang bersangkutan.
5 Bea Materai
Ø  Pengertian
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985, Bea Materai adalah menetapkan pajak atas dokumen. Pelaksanaan bea materai sendiri diatur dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perubahan Tarif Bea Materai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Materai.
Ø  Objek Bea Materai
Dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985, dapat dilihat bahwa Dokumen yang di kenakan bea Materai adalah dokumen yang berbentuk :
1.    Surat Perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.
2.    Akta-akta notaries termasuk salinannya.
3.    Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkapnya.
4.    Surat yang memuat jumlah uang.
5.    Surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep atau
6.    Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian dimuka pengadilan.
Ø  Tarif Bea Materai
Di Indonesia Tarif Bea Materai ditentukan atas dasar jumlah uang ataupun harga nominal dari objek bea materai yang berupa dokumen-dokumen. Harga nominalnya sebesar :
-          Nilai saldo akhir sampai dengan Rp 250.000,00 tidak dikenakan Materai.
-          Nilai saldo akhir lebih dari Rp 250.000,00 dampai dengan Rp 1.000.000,00 dikenakan Bea Materai dengan tarif sebesar Rp 3000,00.
-          Nilai saldo akhir lebih dari Rp 1.000.000,00 dikenakan Bea Materai dengan tarif sebesar Rp 6000,00.
Ø  Benda Materai dan cara Pelunasannya
Bea Materai atas dokumen dilunasi dengan cara :
1.    Menggunakan benda materai (materai temple dan kertas materai)
Untuk materai tempel harus direkatkan ditempat dimana tanda tangan akan dibubuhkan diatas dokumen yang dikenakan Bea Materai. Sedangkan cara penggunaan kertas materai adalah dengan mengisi dokumen diatas kertas materai.
2.    Menggunakan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangaan (mesin teraan materai)
Mesin teraan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan ada 2 jenis, yaitu Mesin Teraan Manual dan Mesin Teraan Materai Digital.
Ø   Ketentuan Khusus
Pejabat pemerintah, hakim, panitera jurusita, notaries dan pejabat umum lainnyam masing-masing dalam tugas atau jabatannya tidak dibenarkan :
1.    Menerima, mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang Bea Materainya tidak atau kurang dibayar.
2.    Melekatkan dokumen yang Bea Materainya tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarifnya pada dokumen lain yang berkaitan.
3.    Membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dari dokumen yang Bea Materainya tidak atau kurang dibayar.
4.    Memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tariff Bea Materainya.
Ø  Daluwarsa Bea Materai
Kewajiban pemenuhan Bea Materai dan denda administrasi yang terutang menurut Undang-Undang Bea Materai daluwarsa setelah lampau waktu lima tahun, terhitung sejak tanggal dokumen dibuat.[20]

C.  Penutup
C.1 Kesimpulan
Ø  Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
Ø  Pajak dapat berfungi sebagai : Anggaran ,Mengatur ,dan Sosial (dapat berupa subsidi)
Ø  Sistem pemungututan pajak diantaranya : Official assessment system,self assessment system,dan with holding system  
Ø  Penggolongan pajak dapat didasarkan pada beberpa hal yakni berdasarkan administratif (ekonomis dan yuridis ),berdasarkan sifat (perorangan dan publik ),melalui titik tolak pungututanya (subyektif dan obyektif),dan melalui kewenangan pemungutnya (daerah dan negara )
Ø  Pendapatan Negara dari sektor pajak merupakan yang terbesar diketahui sekitar 80% pendapatan negara berasal dari pajak.Adapun pemasukan negara dari sektor pajak dapat berupa pajak yang meliputi :
1.Pajak  penghasilan ,dikenakan pada wajib pajak yang telah memiliki penghasilan
2.PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
PPN ,ditujukan pada konsumen setelah mengonsumsi barang dan jasa yang dikeluarkan oleh sebuah perusahaan.Pengaturan mengenai pajak lebih lanjut diatur dalam UU.No.18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
PPnBM dikenakan sesuai dengan daya pikul wajib pajak yang mampu membeli barang mewah ,dianggap wajib bila dibebani pajak yang lebih besar.Tujuanya untuk mengembalikan konsumsi mewah dengan mewujudkan solidaritas masyarat yang berbeda ekonomi.
3.Pajak Perolehan atas Tanah
Pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah atau bangunan. Perolehan didapat akibat adanya peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.Pengaturanya dalam UU.No.20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Atas Hak Tanah dan Bangunan.
4.PBB
Adalah pajak yang dikenakan terhadap bumi (permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya) dan bangunan (konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.)
Pengaturan mengenai Pajak Bumi dan Bangunan ini diatur dalam UU.No 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
5.Bea Materai
Bea Materai adalah menetapkan pajak atas dokumen.Diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai.Pelaksanaan bea materai sendiri diatur dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perubahan Tarif Bea Materai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Materai
C.2 Saran
Ø  Pemerintah jangan hanya mengandalkan pendapat dari sektor pajak saja , namun juga harus lebih meningkatkan kinerja dari sektor pendapatan lain agar neraca keuangan negara tidak mengalami defisit.
Ø  Rakyat / masyarakat umum / orang awam lebih ditingkatkan kesadaran dari pembayar pajak karena sesungguhnya pajak digunakan untuk kepentingan bersama atau umum sehingga pajak yang dikeluarkan oleh orang mampu sesungguhnya juga untuk membantu orang yang kurang ampu yang disalurkan dalam bentuk pelayanan umum.
Ø  Bagi akademisi (termasuk didalamnya mahasiswa) lebih aktif dalam melakukan koreksi dalam pelaksaan pemungutan pajak atau juga pembuatan pajak karena sesungguhnya pajak untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bersama.
Ø  Bagi Lembaga Legislatif ,terdapat kepastian yang jelas dalam tujuan pembuatan pajak agar tidak menguntungkan pihak – pihak tertentu saja dan merugikan golongan – golongan tertentu juga.



DAFTAR PUSTAKA

Liteatur
Diana Anastasia dan  Setiawati, Lilis, Perpajakan Indonesia Konsep, Aplikasi, dan Penuntun Praktis. Yogyakarta: Andi , 2009
Rochmat Soemitro , Pengantar Singkat Hukum Pajak, Bandung : Eresco ,1998
Siti ResmiPerpajakan Teori Dan Kasus ,Jakarta Selatan : Salemba Empat ,2011
Sri Pudyatmoko ,Pengantar Hukum Pajak ,Yogyakarta : Andi ,2002
Perundang – Undangan
UU No.6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
UU No.7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
UU No.13 Tahun 1985 Tentang Bea dan Materai
UU No.12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan
UU No.18 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
UU No.20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah RI Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perubahan Tarif Bea Materai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Materai
Internet
http://www.pajak.go.id diakses pada 12 April 2014, pukul 18.45 WIB
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Pajak_bumi_dan_bangunan  diakses pada 12 April 2014, pukul 18.45
www.tarif.depkeu.go.id/bidang/?bid=pajak&cat=bpbhtp




[1] Undang – Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 1 Ayat 1
[2] Mardiasmo, perpajakan, penerbit andi, hal 226
[4]  Rudy Suhartono dan Wirwan B Ilyas,  Ensiklopedia perpajakan Indonesia, Penerbit salemba, hal 267-268
[5] H. Bohari, Pengantar hukum pajak, Rajawali Pers, hal 52-53
[6] H. Bohari, Pengantar hukum pajak, Rajawali Pers, hal 54
[8] Mardiasmo, perpajakan, penerbit andi, hal 234
[9] [9] H. Bohari, Pengantar hukum pajak, Rajawali Pers, hal 91
[10][10] H. Bohari, Pengantar hukum pajak, Rajawali Pers, hal 91
[11] Rudy Suhartono dan Wirwan B Ilyas,  Ensiklopedia perpajakan Indonesia, Penerbit salemba, hal 268
[12] H. Bohari, Pengantar hukum pajak, Rajawali Pers, hal 92
[13] Rudy Suhartono dan Wirwan B Ilyas,  Ensiklopedia perpajakan Indonesia, Penerbit salemba, hal 289
[14] http://www.pajak.go.id diakses pada 12 April 2014, pukul 18.45 WIB
[15] Diana, Anastasia. Setiawati, Lilis.,. Perpajakan Indonesia Konsep, Aplikasi, dan Penuntun Praktis. Yogyakarta: Penerbit Andi. 2009. Hlm. 711
[16] http://id.m.wikipedia.org/wiki/Pajak_bumi_dan_bangunan  diakses pada 12 April 2014, pukul 18.45
[17] Diana, Anastasia. Setiawati, Lilis.,. Perpajakan Indonesia Konsep, Aplikasi, dan Penuntun Praktis. Yogyakarta: Penerbit Andi. 2009. Hlm. 714
[18] Diana, Anastasia. Setiawati, Lilis.,. Perpajakan Indonesia Konsep, Aplikasi, dan Penuntun Praktis. Yogyakarta: Penerbit Andi. 2009. Hlm. 718-719

[19] Diana, Anastasia. Setiawati, Lilis.,. Perpajakan Indonesia Konsep, Aplikasi, dan Penuntun Praktis. Yogyakarta: Penerbit Andi. 2009. Hlm. 729-730
[20] Diana, Anastasia. Setiawati, Lilis.,. Perpajakan Indonesia Konsep, Aplikasi, dan Penuntun Praktis. Yogyakarta: Penerbit Andi. 2009. Hlm. 754
 

my words | Trisna Widyaningtyas | Instagram | Privacy Policy