A. Pendahuluan
A.1 Pengertian
Pajak adalah
kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.[1].
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib
mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya
diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Mengapa kita harus
membayar pajak? Jawaban yang bisa timbul adalah kita membayar pajak agar
tersedia sarana (fasilitas) umum yang dapat digunakan bersama atau kita
membayar pajak karena kita sudah terlebih dahulu menikmati sarana umum
tersebut. Penyediaan sarana dan
prasarana publik yang kita manfaatkan hanya dapat terjadi karena peran
pemerintah yang membutuhkan pengorbanan besar mengumpulkan dana guna
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kemakmuran generasi mendatang sangat
tergantung pada investasi generasi sekarang ini berupa padaberupa penyediaan
segala macam sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk menggerakkan roda
ekonomi. Semua sarana dan prasarana umum tersebut hanya dapat tersedia bila ada
pajak.
Hanya melalui sumber
pembiayaan dari pajak maka Negara dapat menyediakan sarana dan prasarana untuk
masyarakatnya. Swasta tidak mungkin bisa melakukan apa yang dapat dilakukan
oleh Negara, karena konsep bisnis atau usaha yang dilakukan oleh swasta hanya
untuk kepentingan sekelompok mereka saja. Untuk itu pembayaran pajak yang kita
lakukan adalah guna meningkatkan tingkat kehidupan generasi mendatang. Dengan kata
lain, kemajuan suatu bangsa amat ditentukan melalui kesadaran memahami dan
membayar pajak dengan benar.
A.2 Fungsi dan peran pajak.
A.2.1
Fungsi Anggaran
Memasukkan uang ke kas negara sebanyak -banyaknya untuk keperluan
belanja negara .Dalam hal ini lebih difungsikan untuk menarik dana dari
masyarakat untuk dimaksukkan dalam kas negara.
A.2.2
Fungsi Mengatur
Pajak berfungsi sebagai alat penggerak masyarakat dalam perekonomian
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.Sehingga fungsi mengatur
menggunakan pajak untuk mendorong dan mengendalikan kegiatan masyrakat agar
sejalan engan rencana dan keinginan masyarakat.
A.2.3
Fungsi sosial
Hak milik seseorang harus diakui dan pemanfaatnaya.Sehingga besarnya
pajak harus disesuaikan dengan kekuatan seseorang untuk dapat mencapai pemuasan
kebutuhan setinggi - tingginya setelah dikurangi untuk kebutuhan primer.
A.3
Sistem pemungutan
System pemungutan pajak dapat dibagi
menjadi :
1. Official
assessment system
System ini merupakan
system pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiscus) untuk
menentukan besarnya pajak yang terhutang. Pemerintah( fiscus) menentukan
besarnya terhutang.
Ciri-ciri official assessment system:
a.
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiscus
b.
Wajib pajak bersifat pasif
c.
Utang pajak timbul setekah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiscus
2. Self assessment system
System ini merupakan
system pemungutan pajak yang memberi wewenang , kepercayaan, tanggung jawab
kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan
sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Menyadari akan kelemahan-kelemahan
sistem pemungutan pajak sebagaimana dikemukakan di atas, maka dipandang perlu
untuk melaksanakan sistem pemungutan pajak yang lebih sempurna, yang lebih
efektif dan efisien dan yang memncerminkan pula kegotong-royongan nasional.
Dengan sistem ini
pada awal tahun pajak menentukan sendiri secara aktif menghitung,
memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri pajaknya. Fiskus tidak ikut
campur tangan dalam penentuan besarnya pajak yang terhutang kecuali wajib pajak
melanggar ketentuan undang-undang perpajakan, maka yang bersangkutan dikenakan
sanksi administrasi ( bunga, denda, atau kenaikan ) atau sanksi pidana sebagai
ditentukan dalam Pasal 28 atau 29 Undang-Undang KUHP.
3.
With Holding System
System ini merupakan
sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk
memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
A.4.1 Berdasarkan
Administratif Perpajakan Dilihat dari Segi Ekonomis dan Yuridis
A.4.1.2 Pajak
Langsung
- Segi yuridis ; Pajak yang
dipungut secara periodik (berulang) berdasarkan suatu penetapan dan
berkohir .Ex:PPh
- Segi Ekonomis : Beban
pajaknya tidak boleh dilimpahkan pada orang lain.
A.4.1.2 Pajak Tidak
Langsung
- Dari Segi Ekonomis : pihak
wajib pajak dapat mengalihkan beban pajaknya kepada pihak lain ,artinya
antara mereka yang menjadi wajib pajak dengan yang benar - benar memikul
beban beban pajak itu merupakan pihak yang berbeda.
Ex: PPN ,pajak dikenakan pada pengusaha kena pajak.Dalam hal ini
yang menjadi wajib pajak adalah pengusaha kena pajak itu sendiri,sehinga yang
benar - benar memikul pajak adalah konsumen yang membeli barang tersebut.
- Dari segi yuridis : Pajak
yang dipungut secara isendital saat adanya tatbestand (berupa suatu
keadaan ,perbuatan,dan peristiwa yang mengakibatkan utang pajak timbul )
Ex : bea materai ,PPn atas barang jasa.
A.4.2 Berdasarkan
Sifat Pajak
A.4.2.1 Pajak
Perseorangan
Pajak yang dalam penetapanya memperhatikan dari diri serta keluarganya
.Misalnya status wajib pajak kawin atau tidak,berpa tanggunganya dalam keluarga
sehingga itu menentukan kemampuan membayar dari wajib pajak.
A.4.2.2 Pajak
Kebendaan
Pajak yang dipungut tanpa memperhatikan diri dan keadaan wajib
pajak merupakan jenis pajak tidak langsung .Misalnya : bea materai.
A.4.3 Melalui titik
tolak pemungutuanya
A.4.3.1 Pajak Subyektif
Dimulai dengan menetapkan orangnya baru kemudian mencari syarat
-syarat obyeknya .Misalnya ,PPh
A.4.3.2 Pajak
Obyektif
Pajak yang pengenannya bertitik tolak pada obeyk pajak yang
dikenai dan untuk mengenakan pajakna harus dicari subyeknya.Sehingga yang harus
dilihat adalah obyeknya dulu kemudian mencari orang subyeknya.
A.4.4 Melalui
Kewenangan Pemungutanya
A.4.4.1 Pajak negara
,yang berda di pusat .Misalnya :PPh.PBB,bea materai ,bea lelang, bea masuk dan
cukai
A.4.4.2 Pajak Daerah
yang berada di Provinsi atau Kabupaten dan Kota .Misalnya terdapat dalam UU.34
tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam pasal 2.
B. Pendapatan
Negara dari Sektor Pajak
B.1Pajak Penghasilan
Setiap orang yang sudah memiliki penghasilan atau pihak
ketiga wajib untuk dibebankan pajak kepadanya. Pajak penghasilan sendiri adalah
pajak langsung dari Pemerintah Pusat yang dipungut atas penghasilan dari semua
orang yang ada di wilayah Republik Indonesia. Pajak penghasilan merupakan pajak
yang dipungut secara periodik, pada akhir tahun (setelah tahun pajak berakhir).
Pajak penghasilan merupakan pajak baru pada tahun 1984 dalam rangka Tax Reform
dan menggantikan Pajak Pendapatan (1944) dan Pajak Perseroan (1925) mengenakan
laba yang diperoleh badan – badan serta perseroan – perseroan.
1) Sifat
Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan
yang dikenakan untuk perorangan, sifatnya adalah subjektif dan persoonlijk
karena beban pribadi dan status wajib pajak ikut menentukan besarnya jumlah
pajak. Tetapi apabila pajak yang dikenakan untuk perseroan, maka sifatnya
adalah onjektif atau zakelijk, karena keadaan subjek badan/perseroan sama
sekali tidak diperhatikan.
2) Penghasilan,
Obyek PPh Ps. 1 UU No. 7 Tahun 1983
Penghasilan adalah
setiap tambahan kemampuan ekonomis dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
diterima atau diperoleh wajib pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun
dari luar negri, selama satu tahun pajak yang dapat dipakai untuk konsumsi dan
untuk menambah kekayaan (Pasal 4 ayat 1 UU PPh). Di dalamnya termasuk
pembayaran – pembayaran :
a. Gaji,
upah, uang komisi, bonus, gratifikasi uang pensiun, dan pembayaran lainnya
sebagai imbalan kerja atau jasa.
b. Honorium,
hadiah undian dan penghargaan.
c. Laba
bruto usaha.
d. Keuntungan
yang diperoleh karena penjualan atau pengalihan harta milik pribadi atau milik
perusahaan/badan serta yang diperoleh karena likwidasi.
e. Penerimaan
kembali pembayaran pajak yang telah diperhitungkan sebagai biaya.
f. Bunga
dari pinjaman.
g. Dividen
dengan nama atau dalam bentuk apapun yang dibayarkan oleh PT, atau oleh
perusahaan asuransi kepada para pemegang polis dan pembagian sisa Hasil usaha
koperasi kepada para pengurusnya da pengembalian sisa Hasil Usaha kepada para
anggotanya.
h. Royality.
i. Sewa
dari hata baik dari harta gerak maupun harta tak gerak.
j. Penerimaan
pembayaran berkala, seperti tunjangan seumur hidup.
k. Keuntungan
karena pembebasan hutang.
Pembayaran yang tidak termasuk obyek PPh
ialah antara lain harta hibahan, hadiah yang tidak bertalian dengan jabatan,
warisan, pembayaran dari asuransi kecelakaan, sakit jiwa dan pembayaran
beasiswa, pemberian berupa natura dari pemberi kerja, penghasilan yayasan dari
usaha yang semata – mata ditujukan untuk kepentingan umum dan penghasilan
yayasan dari modal yang semata – mata digunakan untuk kepentingan umum,
pembagian keuntungan dari firma dan lain – lain.
3) Subyek
Pajak Penghasilan 1984 Ps. 2 UU No. 7/Th. 1983 Yang menjadi subyek Pajak
Penghasilan 1984 adalah :
a. Orang
pribadi
b. Badan
– badan seperti PT, Firma, CV, Koperasi, Maatschappij, Persekutuan, Organisasi,
Yayasan
c. Warisan
yang belum terbagi
d. Bentuk
Usaha Tetap
Orang merupakan subyek pajak dalam negri jika ia
bertempat tinggal di Indonesia atau ada di Indonesia untuk jangka waktu yang
melebihi 183 hari.
4) Bukan
Subyek Pajak Penghasilan (Ps. 3 UU no. 7/Tahun 1983). Tidak merupakan subyek
Pajak Penghasilan 1984 adalah :
a. Pejabat
perwakilan diplomatik dan konsulat negara asing dengan syarat bahwa mereka
bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak melakukan pekerjaan lain
atau melakukan kegiatan usaha, serta negara asing itu sebagai resiprositas juga
memberikan pembebasan yang sepadan kepada wakil diplomatik dan konsuler
Indonesia.
b. Kelompok
UNDP kelompok kerjasama teknik bilateral, kelompok Colombo plan, kelompok
kerjasama kebudayaan kelompok organisasi swasta internasional dan kelompok
Seameo.
c. Perusahaan
Jawatan Kereta Api dan Perusahaan Jawatan Pegadaian.
5) Penghitungan
Penghasilan Kena Pajak (Ps. 6 UU no. 7/Tahun 1984)
Untuk menghitung
penghasilan wajib pajak pribadi, perorangan yang kena pajak harus diketahui
lebih dulu :
a. Penghasilan
suami yang berasal dari pekerjaan dalam hubungan dinas atau perburuhan yang
dipotong PPh oleh pmberi kerja/majikan berdasarkan Ps. 21 UU PPh.
b. Penghasilan
suami yang berasal dari usaha, atau profesi, yang tidak dipotong pajak.
c. Penghasilan
suami yang berasal dari harta tak gerak.
d. Penghasilan
suami yang berasal dari modal bergerak.
e. Penghasilan
suami istri dari upah atau gaji yang sudah dipotong PPh oleh Pemberi kerja.
f. Penghasilan
istri yang berasal dari usaha atau pekerjaan bebas, yang tidak dipotong pajak.
g. Dan
penghasilan istri yang tercantum seperti bagian c, d, dan e.
h. Susunan
keluarga yang diperlukan untuk menentukan jumlah PTKP sesuai pasal 7 :
·
Rp. 960.000,- untuk diri
wajib pajak suami
·
Rp. 480.000,- untuk istri
wajib pajak
·
Rp.480.000,- untuk setiap
anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis lurus. Paling banyak
diperkenakan 3 orang.
·
Rp. 960.000,- sebagai
tambahan bila sang istri mempunyai penghasilan dari usaha sendiri atau dari
pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga
lain.
Sebelum jumlah – jumlah tersebut dijumlahkan menjadi
satu, maka perlu diperhatikan terlebih dahulu bahwa untuk perkerjaan/jabatan
ada biaya jabatan yang jumlahnya 5% dari penghasilan bruti paling tinggi Rp.
360.000,- setahun atau Rp. 30.000,- sebulan.
Ada 4 golongan yang persentase penyusutannya
berlainan :
ü Golongan
I dengan masa manfaat tidak lebih dari 4 tahun, disusutkan 50% setahun
ü Golongan
II dengan masa manfaat lebih dari 4 tahun tapi tidak lebih dari 8 tahun, tarif
penyusutan 25%
ü Golongan
III dengan masa manfaat lebih dari 8 tahun penyusutan 10%
ü Golongan
IV bangunan dan harta tak bergerak lainnya penyusutan 5% (Pasal 11 ayat 3 jo.9)
6) Self
Assessment
Metode Self Assessment
adalah wajib pajak dalam SPT itu berasarkan data yang terdapat pada SPT,
menghitung dan menetapkan sendiri jumlah pajak yang terutang, tanpa ikut campur
tangan kantor Inspeksi Pajak.
B.2 Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
B.2.1 PPN (Pajak Pertambahan
Nilai)
Peraturan perundang-undangan yang mengatur
Pajak pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
adalah Undangn-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa Penjualasn atas Barang Mewah, sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 dan diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 18
Tahun 2000. Sehingga Hukum Positif yang berlaku bagi PPN dan PPnBM adalah UU No
18 Tahun 2000.[2]
Pajak
Pertambahan Nilai merupakan salah satu macam pajak yang dikenal dengan nama
PPN. Pajak jenis ini seringkali kita temui di tempat makan (Restoran), tempat
belanja (Mall), dan sebagainya. Pajak jenis ini adalah pajak yang dikenakan
atas :[3]
a. Penyerahan
barang Kena Pajak di dalam Daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha
b. Impor
barang kena Pajak
c. Penyerahan
Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha
d. Pemanfaatan
Barang kena Pajak tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
e. Pemanfaatan
Jasa kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
f. Ekspor
Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
g. Ekspor
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
h. Ekspor
Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak
Selain
itu PPn juga memiliki karakteristik sebagai berikut :[4]
1. Pajak
pertambahan nilai merupakan pajak atas konsumsi barang atau jasa yang
dikonsumsi di dalam negeri sehingga:
a. Barang
atau jasa yang diproduksi di luar negeri namun dikonsumsi di dalam negeri
dikenai PPN.
b. Barang
atau jasa yang diproduksi di dalam negeri namun dikonsumsi di luar negeri tidak
dikenai PPN.
c. PPN
dibebankan kepada konsumen, sedangkan pihak yang ditunjuk untuk memungut PPN
adalah pengusaha yang menyerahkan barang atau jasa.
2. Barang
atau Jasa yang dikenai PPN disebut Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak
(JKP), dan pengusaha yang diwajibkan menmungut PPN disebut Pengusaha Kena Pajak
3. PPN
adalah pajak objektif sehingga pengenaan PPN hanya berdasarkan objeknya dan
tidak memperhatikan subjek atau pihak yang melakukan konsumsi
4. PPN
harus bersifat netral dalam perdagangan dalam negeri dan luar negeri sehingga
memberikan perlakuan yang sama atas suatu transaksi baik di dalam negeri
ataupun di luar negeri, dan tidak boleh bersifat distorsi dalam perdagangan.
5. Dll
Subjek dalam Pajak Pertambahan Nilai barang dan Jasa adalah Pengusaha
Kena Pajak, hal tersebut sesuai dengan UU no 18 tahun 2000 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Pengusaha ini wajib melaporkan usahanya kepada pejabat pajak di tempat
pengusaha itu bertempat tinggal atau tempat kedudukan usaha itu, dalam jangka
waktu 30 hari sejak usaha dimulai untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak
(PKP). Sehingga PKP merupakan pengusaha yang melakukan penyerahan barag Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah.[5]
Selain itu ada juga Pengusaha Kecil yaitu pengusaha
yang melakukan penyerahan barang kena pajak dengan jumlah nilai peredaran bruto
tidak lebih dari 240 juta/tahun atau jasa kena pajak tidak lebih dari 120
juta/tahun. Sehingga atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak, pengusaha kecil dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Namun jika Pengusaha kecil memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP, maka
diwajibkan padanya untuk memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang.[6]
Pada dasarnya
semua barang dan jasa merupakan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak, sehingga
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kecuali jenis barang dan jenis jasa
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4A Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2000 tidak dikenakan PPN, yaitu: [7]
i.
Jenis Barang Yang Tidak Dikenakan PPN
Ø
Barang
hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya
Ø
Barang-barang
kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak,
Ø
Makanan
dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun
tidak; tidak termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha katering
atau usaha jasa boga.
Ø
Uang,
emas batangan, dan surat-surat berharga.
ii.
Jenis Jasa Yang Tidak Dikenakan PPN
Ø
Jasa
di bidang pelayanan kesehatan medik,
Ø
Jasa
di bidang pelayanan sosial,
Ø
Jasa
di bidang pengiriman surat dengan perangko yang dilakukan oleh PT. Pos
Indonesia (Persero)
Ø
Jasa
di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi,
Ø
Jasa
di bidang keagamaan,
Ø
Dll.
Pajak
pertambahan nilai dikenakan atas
pertambahan nilai dari barang yang duhasilkan atau diserahkan oleh Pengusaha
kena Pajak. Dan secara umum pajak dipungut secara bertingkat pada jalur
produksi dan distribusi dengan tidak aa unsur pemungutan pajak berganda. Sistem
pajak pertambahan nilai adalah sbb :[8]
1.
Dikenakan
atas penyerahan
2.
Dipungut
secara bertingkat pada jalur produksi dan distribusi
3.
Mekanisme
kredit pajak (metode faktur pajak)
B.2.2 Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
Pajak
Penjualan atas Barang Mewah dikenakan sesuai dengan daya pikul wajib pajak yang
mampu membeli barang mewah, dianggap wajib bila dibebani pajak yang lebih
besar. Hal ini bertujuan agar bisa mengembalikan pola konsumsi mewah bagi
masyarakat dan juga untuk mewujudkan solidaritas sosial sehingga pada suatu
saat nanti pola konsumsi mewah tersebut dapat dialihkan ke investasi yang lebih produktif. Pajak ini
dikenakan disamping pajak pertambahan nilai, yang artinya atas penyerahan atau
impor barang mewah pertama-tama akan dikenakan PPN dan sebagai tambahannya
dikenakan lagi pajak penjualan atas baranh mewah.[9]
Pengenaan pajak ini tidak dikenakan
pada keseluruhan penyerahaan barang mewah. Melainkan hanya dilakukan terhadap
penyerahan yang dilakukan oleh :[10]
a. Orang
atau badan yang memang pekerjaannya atau usahanya membuat barang mewah
b. Siapapun
yang mengimpor barang mewah tanpa memperhatikan a[akah impor tersebut dilakukan
terus menerus atau dilakukan hanya satu kali.
Selain
itu Pajak penjualan barang mewah ini memiliki karakteristik-karakteristik
sebagai berikut :[11]
a. PPnBM
dikenakan untuk mengurangi sifat regresif PPN sebagai pajak objektif yang tidak
memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan konsumsi
b. PPnBM
dikenakan hanya sekali pada tingkat barang yang tergolong mewah tersebut
dihasilkan. Pihak yang meghasilkan barang mewah tersebut dapat produsen dalam
negeri maupun luar negeri.
c. Barang
yang tergolong mewah yang dihasilkan di dalam negeri wajib dipungut PPnBM oleh
produsen yang bersangkutan, sedangkan yang berasal dari luar negeri dan
dikonsumsi di dalam negeri wajib dipungut dan disetor oleh pihak yang melakukan
impor.
d. Untuk
memberikan kepastian hukum, jenis BKP yang tergolong mewah ditetapkan oleh UU
PPN beserta peraturan pelaksanaannya
e. Transaksi
yang terutang PPnBM juga akan terutang PPN.
Karena PPnBM ini hanya sebagai tambahan bagi barang
yang terkena PPN, maka sudah jelas bahwa barang yang terkena PPnBM hanyalah
barang-barang tertentu yang tergolong mewah. Menurut pasal 5 UU No 18 Tahun
2000 yang termasuk BKP yang tergolong barang mewah adalah sbb:[12]
a) Barang
mewah tersebut bukan barang kebutuhan pokok
b) Barang
tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
c) Pada
umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi
d) Barang
tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status
e) Apabila
dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat serta mengganggu
ketertiban masyarakat, seperti minuman alkohol.
Akan
tetapi ada pula tarnsaksi Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah namun
dibebaskan dari PPnBM, yaitu :[13]
1. Kendaraan
Ambulans, Kendaraan Jenazah, kendaraan Pemadam Kebakaran, kendaraan Tahanan,
Kendaraan Angkutan Umum
2. Kendaraan
protokoler Kenegaraan
3. Kendaraan
bermotor untuk pengangkutan 10 orang sampai dengan 15 orang termasuk pengemudi
yang digunakan untuk kendaraan dinas TNI/Polri
4. Kendaraan
Patroli TNI/Polri.
B.3 Pajak
Perolehan Hak Atas Tanah
Menurut undang-undang nomor 20 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN.
Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan
atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan
atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan
diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
Sedangkan Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak
pengelolaan, beserta bangunan diatasnya,
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang
Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Yang menjadi objek pajak bea perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan meliputi:
a. Pemindahan
hak karena:
1.
jual
beli;
2.
tukar-menukar;
3.
hibah;
4.
hibah
wasiat;
5.
waris;
6.
pemasukan
dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
7.
pemisahan
hak yang mengakibatkan peralihan;
8.
penunjukan
pembeli dalam lelang;
9.
pelaksanaan
putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10.
penggabungan
usaha;
11.
peleburan
usaha;
12.
pemekaran
usaha;
13.
hadiah.
b. Pemberian
hak baru karena :
1. kelanjutan pelepasan hak;
2. diluar pelepasan hak.
Pasal 3 UU no 20
tahun 2000
(1) Objek
pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah
objek pajak yang diperoleh :
a. perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas
perlakuan timbal balik;
b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk
pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
c. badan atau perwakilan organisasi internasional yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan
organisasi tersebut;
d. orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena
perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
e. orang pribadi atau badan karena wakaf;
f. orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan
ibadah.
(2) Objek
pajak yang diperoleh karena waris, hibah wasiat, dan pemberian hak pengelolaan
pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah."
"Pasal 23
1)
Penerimaan
negara dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dibagi dengan imbangan
20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk Pemerintah daerah yang
bersangkutan.
1.a) Bagian
Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dibagikan kepada seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota secara
merata.
2)
Bagian
Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibagi dengan imbangan
20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Propinsi yang bersangkutan dan 80%
(delapan puluh persen) untuk Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
3)
Tatacara
pembagian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (1a), dan ayat (2) diatur
dengan Keputusan Menteri."
B.4 Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB)
Ø Pengertian
Dasar
Pajak
Bumi dan Bangunan adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan bangunan
berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.[14]
Pengertian dasar yang berkaitan dengan PBB adalah sebagai berikut :
Bumi adalah permukaan
bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya.
Bangunan
adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah
dan/atau perairan.[15]
Ø Subjek
Pajak Bumi dan Bangunan
Yang
menjadi wajib pajak PBB adalah orang pribadi atau badan yang memiliki hak
dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Wajib
pajak memiliki kewajiban membayar PBB yang terutang setiap tahunnya. PBB harus
dilunasi paling lambat 6(enam) bulan sejak di terimanya SPPT oleh wajib pajak. [16]
Ø Objek
PBB
PBB
juga memiliki objek yang sama dengan Objek dalam Pajak biasa, yaitu bumi
dan/atau bangunan, termasuk juga unit tempat usaha, perumahan dan apartemen,
seperti tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Tentang
Ekstensifikasi Wajib Pajak Orang Pribadi melalui Pendataan Objek
Dalam PBB objek pajak
dapat berupa bumi dan/atau bangunan, selain itu unit tempat usaha, perumahan
dan apartemen. Selain itu ada beberapa objek pajak yang tidak dikenakan Pajak
Bumi dan Bangunan, diantaranya adalah :
Digunakan semata-mata untuk
melayani kepentingan umum di bidang ibadah, social, kesehatan, pendidikan dan
kebundayaan nasional yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.
Contohnya : Pesantren, atau sejenis dengan madrasah, tanah wakaf dan rumah
sakit umum.
DIgunakan untuk kuburan,
peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu.
Merupakan hutan lindung,
hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, taman penggembalaan yang
dikuasai oleh desa dan tanah Negara yang belum dibebani suatu hak.
Digunakan oleh perwakilan
diplomatic, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbale balik.
Digunakan oleh badan atau
perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.[17]
Ø Tarif
Pajak Bumi dan Bangunan
Tarif
pajak yang dikenakan atas segala objek pajak bumi dan bangunan adalah sebesar
0,5%
Ø Dasar
Pengenaan dan Cara Menghitung PBB
Dasar
Pengenaan pajak terlihat dari Nilai Jual Objek Pajak atau yang biasa disebut NJOP.
Besar dari NJOP sendiri ditentukan tiap 3 tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali
untuk daerah tertentu ditetapkam setiap tahun sesuai dengan perkembangan
daerahnya. NJOP meliputi nilai jual permukaan bumi (tanah, perairan pedalaman
serta wilayah Indonesia) beserta kekayaan alam yang berada diatas maupun di
bawahnya, dan/atau bangunan yang melekat di atasnya.
Untuk
objek pajak sector pedesaan dan perkotaan yang tidak bersifat khusus NJOPnya di
tentukan berdasarkan nilai indikasi rata-rata yang diperoleh dari hasil
penilaian secara massal. Sedangkan untuk besarnya NJOP pada sector perkebunan,
kehutanan, pertambangan, serta usaha bidang perikanan, peternakan dan perairan
untuk areal produksi dan/atau areal belum produksi, ditentukan berdasarkan
nilai jual permukaan bumi dan bangunan, ditambah dengan nilai standar investasi
atau nilai jual pengganti atau dihitung secara keseluruhan berdasarkan nilai
jual pengganti.
Ada
juga objek pajak yang bersifat khusus yaitu objek pajak yang letak, bentuk,
peruntukan dan atau penggunaannya mempunyai sifat dan karakteristik khusus.
Objek pajak tertentu yang bersifat khusus, NJOPnya dapat ditentukan berdasarkan
nilai pasar yang dilakukan oleh pejabat fungsional penilai secara individual. [18]
Ø Jatuh
Tempo dan Tempat Pembayaran PBB
Pajak
yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang harus dilunasi
selambat-lambatnya enam bulan sejak diterimanya SPPT oleh wajib pajak.
Tempat
Pembayaran PBB adalah Bank Umum/Kantor Pos yang ditunjuk oleh Menteri keuangan
untuk menerima pembayaran PBB dan memindahbukukan ke Bank Persepsi/Pos
Persepsi.
Ø Pengurangan
atas PBB Terutang
Pengurangan
PBB diberikan atas pajak terutang yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan
Pajak Terutang atau Surat Ketetapan Pajak. Permohonan Pengurangan diajukan
secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan yang menerbitkan SPPT atau SKP dengan mencantumkan besarnya
presentase pengurangan yang dimohonkan.
Ada
pula pengurangan atas wajib pajak yang besar pengurangannya adalah 75% dari
besarnya pajak terutang, yaitu :
-
Wajib pajak orang pribadi
atau badan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan
subjek pajak dan atau karena sebab-sebab tertentu lainnya.
-
Wajib pajak orang pribadi
atau badan dalam hal objek pajak yang terkena bencana alam dan sebab-sebab lain
yang luar biasa.
-
Wajib pajak anggota veteran
pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan.[19]
Ø Pembagian
hasil penerimaan PBB
Dari
penerimaan pajak yang menjadi penerimaan Negara, dapat dibagi antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah dengan perhitungan pembagian sekurang-kurangnya 90%
untuk Pemerintah Daerah Tingkat I dan II sebagai dana pendapatan daerah yang
bersangkutan.
5 Bea
Materai
Ø Pengertian
Menurut
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985, Bea Materai adalah menetapkan pajak atas
dokumen. Pelaksanaan bea materai sendiri diatur dalam Peraturan Pemerintah RI
Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perubahan Tarif Bea Materai dan Besarnya Batas
Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Materai.
Ø Objek
Bea Materai
Dari
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985, dapat dilihat bahwa Dokumen yang di kenakan
bea Materai adalah dokumen yang berbentuk :
1. Surat
Perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan
sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang
bersifat perdata.
2. Akta-akta
notaries termasuk salinannya.
3. Akta-akta
yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkapnya.
4. Surat
yang memuat jumlah uang.
5. Surat
berharga seperti wesel, promes, dan aksep atau
6. Dokumen
yang akan digunakan sebagai alat pembuktian dimuka pengadilan.
Ø Tarif
Bea Materai
Di
Indonesia Tarif Bea Materai ditentukan atas dasar jumlah uang ataupun harga
nominal dari objek bea materai yang berupa dokumen-dokumen. Harga nominalnya
sebesar :
-
Nilai saldo akhir sampai
dengan Rp 250.000,00 tidak dikenakan Materai.
-
Nilai saldo akhir lebih dari
Rp 250.000,00 dampai dengan Rp 1.000.000,00 dikenakan Bea Materai dengan tarif
sebesar Rp 3000,00.
-
Nilai saldo akhir lebih dari
Rp 1.000.000,00 dikenakan Bea Materai dengan tarif sebesar Rp 6000,00.
Ø Benda
Materai dan cara Pelunasannya
Bea Materai atas dokumen dilunasi dengan
cara :
1. Menggunakan
benda materai (materai temple dan kertas materai)
Untuk materai tempel
harus direkatkan ditempat dimana tanda tangan akan dibubuhkan diatas dokumen
yang dikenakan Bea Materai. Sedangkan cara penggunaan kertas materai adalah
dengan mengisi dokumen diatas kertas materai.
2. Menggunakan
cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangaan (mesin teraan materai)
Mesin teraan yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan ada 2 jenis, yaitu Mesin Teraan Manual dan
Mesin Teraan Materai Digital.
Ø
Ketentuan Khusus
Pejabat pemerintah,
hakim, panitera jurusita, notaries dan pejabat umum lainnyam masing-masing
dalam tugas atau jabatannya tidak dibenarkan :
1. Menerima,
mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang Bea Materainya tidak atau kurang
dibayar.
2. Melekatkan
dokumen yang Bea Materainya tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarifnya
pada dokumen lain yang berkaitan.
3. Membuat
salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dari dokumen yang Bea Materainya
tidak atau kurang dibayar.
4. Memberikan
keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang dibayar sesuai
dengan tariff Bea Materainya.
Ø Daluwarsa
Bea Materai
Kewajiban pemenuhan
Bea Materai dan denda administrasi yang terutang menurut Undang-Undang Bea
Materai daluwarsa setelah lampau waktu lima tahun, terhitung sejak tanggal
dokumen dibuat.[20]
C. Penutup
C.1 Kesimpulan
Ø Pajak adalah kontribusi wajib
kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
Ø Pajak dapat berfungi sebagai : Anggaran ,Mengatur ,dan
Sosial (dapat berupa subsidi)
Ø Sistem pemungututan pajak diantaranya : Official assessment system,self assessment
system,dan with holding system
Ø Penggolongan pajak dapat didasarkan pada beberpa hal
yakni berdasarkan administratif (ekonomis dan yuridis ),berdasarkan sifat
(perorangan dan publik ),melalui titik tolak pungututanya (subyektif dan
obyektif),dan melalui kewenangan pemungutnya (daerah dan negara )
Ø Pendapatan Negara dari sektor pajak merupakan yang terbesar
diketahui sekitar 80% pendapatan negara berasal dari pajak.Adapun pemasukan
negara dari sektor pajak dapat berupa pajak yang meliputi :
1.Pajak penghasilan ,dikenakan pada wajib pajak yang
telah memiliki penghasilan
2.PPN dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah
PPN ,ditujukan pada konsumen setelah mengonsumsi barang
dan jasa yang dikeluarkan oleh sebuah perusahaan.Pengaturan mengenai pajak
lebih lanjut diatur dalam UU.No.18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan
Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
PPnBM dikenakan sesuai dengan daya pikul wajib pajak yang
mampu membeli barang mewah ,dianggap wajib bila dibebani pajak yang lebih
besar.Tujuanya untuk mengembalikan konsumsi mewah dengan mewujudkan solidaritas
masyarat yang berbeda ekonomi.
3.Pajak
Perolehan atas Tanah
Pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah atau
bangunan. Perolehan didapat akibat adanya peristiwa hukum yang mengakibatkan
diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau
badan.Pengaturanya dalam UU.No.20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Atas Hak
Tanah dan Bangunan.
4.PBB
Adalah pajak yang dikenakan terhadap bumi (permukaan
bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya) dan
bangunan (konstruksi teknik yang ditanam atau
dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.)
Pengaturan mengenai
Pajak Bumi dan Bangunan ini diatur dalam UU.No 12
Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
5.Bea Materai
Bea
Materai adalah menetapkan pajak atas dokumen.Diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai.Pelaksanaan
bea materai sendiri diatur dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 24 Tahun 2000
Tentang Perubahan Tarif Bea Materai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan
Bea Materai
C.2
Saran
Ø Pemerintah jangan hanya mengandalkan pendapat dari sektor
pajak saja , namun juga harus lebih meningkatkan kinerja dari sektor pendapatan
lain agar neraca keuangan negara tidak mengalami defisit.
Ø Rakyat / masyarakat umum / orang awam lebih ditingkatkan
kesadaran dari pembayar pajak karena sesungguhnya pajak digunakan untuk
kepentingan bersama atau umum sehingga pajak yang dikeluarkan oleh orang mampu
sesungguhnya juga untuk membantu orang yang kurang ampu yang disalurkan dalam
bentuk pelayanan umum.
Ø Bagi akademisi (termasuk didalamnya mahasiswa) lebih
aktif dalam melakukan koreksi dalam pelaksaan pemungutan pajak atau juga
pembuatan pajak karena sesungguhnya pajak untuk menciptakan keadilan dan
kesejahteraan bersama.
Ø Bagi Lembaga Legislatif ,terdapat kepastian yang jelas
dalam tujuan pembuatan pajak agar tidak menguntungkan pihak – pihak tertentu
saja dan merugikan golongan – golongan tertentu juga.
DAFTAR PUSTAKA
Liteatur
Diana Anastasia dan Setiawati, Lilis,
Perpajakan Indonesia
Konsep, Aplikasi, dan Penuntun Praktis. Yogyakarta:
Andi ,
2009
Rochmat
Soemitro , Pengantar Singkat Hukum Pajak, Bandung : Eresco
,1998
Siti
Resmi , Perpajakan Teori Dan Kasus ,Jakarta Selatan : Salemba Empat ,2011
Sri Pudyatmoko ,Pengantar
Hukum Pajak ,Yogyakarta : Andi ,2002
Perundang – Undangan
UU No.6
Tahun 1983 Tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
UU No.7 Tahun 1983
Tentang Pajak Penghasilan
UU No.13 Tahun 1985
Tentang Bea dan Materai
UU No.12 Tahun 1994
Tentang Pajak Bumi dan Bangunan
UU No.18 Tahun 2000
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
UU No.20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan
Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah RI Nomor 24 Tahun
2000 Tentang Perubahan Tarif Bea Materai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan
Bea Materai
Internet
http://kabarpajak.blogspot.com/2013/07/makalah-penggolongan-pajak-dan-sistem.html,diakses pada 12/04/2014
http://www.pajak.go.id
diakses pada 12 April 2014, pukul 18.45 WIB
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Pajak_bumi_dan_bangunan diakses pada 12 April 2014, pukul 18.45
www.tarif.depkeu.go.id/bidang/?bid=pajak&cat=bpbhtp
[1] Undang – Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan pada Pasal 1 Ayat 1
[2] Mardiasmo, perpajakan, penerbit andi, hal 226
[4] Rudy Suhartono dan Wirwan B
Ilyas, Ensiklopedia perpajakan
Indonesia, Penerbit salemba, hal 267-268
[5] H. Bohari, Pengantar hukum pajak, Rajawali Pers, hal 52-53
[6] H. Bohari, Pengantar hukum pajak, Rajawali Pers, hal 54
[7] http://ocw.usu.ac.id/course/download/1129-MANAJEMEN-FARMASI/manajemen_far_slide_pajak_pertamabahan_nilai_ppn.pdf.
diakses tanggal 12 April 2014
[8] Mardiasmo, perpajakan, penerbit andi, hal 234
[9] [9] H.
Bohari, Pengantar hukum pajak, Rajawali Pers, hal 91
[11] Rudy Suhartono dan Wirwan B Ilyas,
Ensiklopedia perpajakan Indonesia, Penerbit salemba, hal 268
[12] H. Bohari, Pengantar hukum pajak, Rajawali Pers, hal 92
[13] Rudy Suhartono dan Wirwan B Ilyas,
Ensiklopedia perpajakan Indonesia, Penerbit salemba, hal 289
[14] http://www.pajak.go.id diakses pada 12 April 2014, pukul 18.45 WIB
[15] Diana, Anastasia. Setiawati, Lilis.,. Perpajakan Indonesia Konsep, Aplikasi, dan Penuntun Praktis.
Yogyakarta: Penerbit Andi. 2009. Hlm. 711
[16] http://id.m.wikipedia.org/wiki/Pajak_bumi_dan_bangunan diakses pada 12 April 2014, pukul 18.45
[17] Diana, Anastasia. Setiawati, Lilis.,. Perpajakan Indonesia Konsep, Aplikasi, dan Penuntun Praktis.
Yogyakarta: Penerbit Andi. 2009. Hlm. 714
[18] Diana, Anastasia. Setiawati, Lilis.,. Perpajakan Indonesia Konsep, Aplikasi, dan Penuntun Praktis.
Yogyakarta: Penerbit Andi. 2009. Hlm. 718-719
[19] Diana, Anastasia. Setiawati, Lilis.,. Perpajakan Indonesia Konsep, Aplikasi, dan Penuntun Praktis.
Yogyakarta: Penerbit Andi. 2009. Hlm. 729-730
[20] Diana, Anastasia. Setiawati, Lilis.,. Perpajakan Indonesia Konsep, Aplikasi, dan Penuntun Praktis.
Yogyakarta: Penerbit Andi. 2009. Hlm. 754