Tugas Paper Hukum perburuhan kelas E
Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 115 Tahun
2009
Pengujian Pasal 120 Ayat (1) dan Pasal 121 UU No 13
Tahun 20013 Tentang Ketenagakerjaan
Trisna Widyaingtyas
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2013
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara
hukum sebagaimana dalam amanat konstitusi yakni dalam Pasal 1 Ayat 3, kemudian
ciri dari negara hukum adalah adanya kemampuan perlindungan HAM, peradilan yang
tidak memihak, serta adanya kepastian hukum. Dengan demikian salah satu bentuk
pelaksanaan hukum adalah pengadaan judiciil review atau pengujian undang-undang
yang dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan menimbulkan kerugian.
Di masa globalissasi
yang serba modern ini sangatlah mudah menemukan perusahaan ataupun pabrik yang
berdiri kokoh baik di kota besar maupun kota kecil. Yang tentunya perusahaan
atau pebrik tersebut memiliki pekerja atau buruh sebagai pihak yang menjalankan
perusahaan atas perintah pengusaha atau pemberi kerja. Sehingga timbullah
hubungan hukum antara si pemberi kerja atau pengusaha itu dengan pekerja atau
buruh mereka. Hubungan kerja ini dilindungi oleh Undang-undang No 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.
UU No 13 Tahun 2003
hingga saat ini belum dapat dikatakan sempurna, hal ini terbukti dengan sudah
ada tujuh kali pengujian UU Ketenagakerjaan yang semuanya diajukan oleh buruh
atau serikat buruh. Hanya satu pengujian yang ditolak MK. Selebihnya diterima
MK dengan menyatakan pasal tertentu tak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Atau
ada juga pasal yang tetap dinyatakan konstitusional sepanjang memenuhi
syarat-syarat tertentu yang ditetapkan MK.
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara
hukum sebagaimana dalam amanat konstitusi yakni dalam Pasal 1 Ayat 3, kemudian
ciri dari negara hukum adalah adanya kemampuan perlindungan HAM, peradilan yang
tidak memihak, serta adanya kepastian hukum. Dengan demikian salah satu bentuk
pelaksanaan hukum adalah pengadaan judiciil review atau pengujian undang-undang
yang dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan menimbulkan kerugian.
Perburuhan dan Ketenagakerjaan
adalah salah satu aspek dalam kehidupan terkait bagaimana seseorang bekerja
menjalin hubungan dengan pekerja dan dalam tataran praktiknya perburuhan dan
ketenagakerjaan memiliki permasalahan kompleks sehingga pada akhirnya dibuatlah
regulasi yakni dengan UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Diharapkan
dengan demikian tercapailah tujuan hukum yakni keadilan, kepastian, serta
kebermanfaatan.
UU No 13 Tahun 2003
hingga saat ini belum dapat dikatakan sempurna, hal ini terbukti dengan sudah
ada tujuh kali pengujian UU Ketenagakerjaan yang semuanya diajukan oleh buruh
atau serikat buruh. Hanya satu pengujian yang ditolak MK. Selebihnya diterima
MK dengan menyatakan pasal tertentu tak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Atau
ada juga pasal yang tetap dinyatakan konstitusional sepanjang memenuhi
syarat-syarat tertentu yang ditetapkan MK.
ANALISIS
PUTUSAN MAHKAMAH KONSITUSI NOMOR 115/PUU-VII/2009
Persidangan
dilaksanakan pada hari Kamis, 14 Januari 2010, Pukul 14.07– 15.18 WIB dengan 9
Hakim Mahkamah Konstitusi serta dihadiri oleh pihak pemohon yakni Ronald E. Pattiasina (Ketua Umum DPP SP BCA
Bersatu) dan Puji Rahmat (Sekretaris Umum SPI BCA Bersatu) yang ditemani tiga
orang rekannya, Keduanya mengajukan uji materi atas pasal tersebut atas nama kepentingan
pribadi serta sebagai perwakilan dari orang yang memiliki kepentingan yang
sama, yang merupakan Serikat Pekerja BCA Bersatu. Proses pesidangan juga
dihadiri perwakilan dari pemerintah dan DPR.
1. N
a m a :RONALD
EBENHARD PATTIASINA
Tempat
tanggal lahir :Malang, 05
November 1972;
Agama
:Kristen;
Pekerjaan
:Karyawan
Swasta;
Kewarganegaraan
:Indonesia;
Alamat :Kampung
Bojong Jati Nomor 11 RT.003 RW.016 Kelurahan Depok Pancoran Mas, Kota Depok;
Nomor
KTP :3276010511720001
Nomor
Telepon/Faksimili :021-26892178
Nomor
Telepon Seluler :08567157715
Email
:Lbu_mgu@bca.co.id
2. N
a m a : PUJI RAHMAT
Tempat
tanggal lahir : Bojonegoro, 23 Februari 1981;
Agama
: Islam;
Pekerjaan
: Karyawan Swasta;
Kewarganegaraan
:
Indonesia;
Alamat :
Jalan Mustafa VI Nomor 3A RT. 004 RW. 005 Kelurahan Kukusan Kecamatan Beji Kota
Madya, Jawa Barat 16425;
Nomor
KTP : 32.77.72.1004/03445/72013012
Nomor
Telepon/Faksimili : 021-23588000
ext. 22236
Nomor
Telepon Seluler : 081210002336
Email : puji_rahmat@bca.co.id
Baik untuk atas nama
pribadi maupun sebagai perwakilan dari kelompok orang yang memiliki kepentingan
yang sama, yang dalam hal ini adalah:
N a m a : Serikat Pekerja BCA
Bersatu;
Nomor Pencatatan :
519/V/P/VII/2007 pada Suku Dinas Ketenagakerjaan Jakarta Selatan;
Alamat Koresponden :
PT. Bank Central Asia Menara BCA Lantai 22 Grand Indonesia Jalan M.H. Thamrin Nomor
1 Jakarta Pusat 10310
Pemohon dalam hal ini
berkedudukan sebagai perorangan warga negara sesuai dengan pasal 51 ayat 1 UU
MK yang mewakili
organisasi BCA dimana Ronald EbenHard adalah ketua umum berdasarkan Surat
Ketetapan Musyawarah Nasional Luar Biasa (MUNASLUB) SP BCA Bersatu di Tretes,
Pasuruan pada tanggal 05 sampai dengan 07 Maret 2009 dengan Nomor Keputusan
009/MUNASLUB/SP BCA BERSATU
Terdapat 15 (lima
belas) alasan yang pada pokoknya menyatakan bahwa Pemohon mempunyai kedudukan
hukum dan dasar kepentingan untuk mengajukan permohonan pengujian UU No 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945, karena mempunyai
kepentingan secara langsung karena akan menerima dampak secara langsung dari
pelaksanaan dari pasal 120 Ayat (1) dan Pasal 121 UU No 13 Tahun 2003
Duduk
perkara dari pengujian UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah
terhadap pasal 120 ayat (1) yang berbunyi :
Dalam
hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serik\at
buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan
pengusaha yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus)
dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut;
Penjabaran ketentuan
terkait pasal 120 UU No 13 Tahun 2003 dalam ayat (2) ketika tidak memenuhi ayat
(1) dalam praktiknya tidak pernah diperhatikan. Pemohon mempermasalahkan hak konstitusionalnya yang diamanatkan
dalam pasal 28 UUD NRI 1945 “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang” dan pasal
28E ayat 3 UUD NRI 1945 “Setiap orang
berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” yang diciderai terkait adanya pasal
ini dikarenakan perusahaannya memiliki
jumlah anggotanya kurang dari 51% dari total seluruh sehingga karyawan menjadi
kehilangan hak untuk menyampaikan aspirasi melalui perundingan perumusan
Perjanjian Kerja Bersama di PT Bank Central Asia Tbk, pengertian
Perjanjian Kerja Bersama berdasarkan Pasal 1 Angka 21 UU No 13 Tahun 2013 :
Perjanjian
kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat
pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat
pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan
pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat
syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Dalam pelaksanaan
hubungan kerja tersebut agar pekerja lebih mendapatkan kepastian hukum berupa
hak dan kewajibannya dari perusahaan begitu sebaliknya maka perusahaan pasti
memiliki peraturan perusahaan yang berisi syarat kerja yang belum diatur dalam
peraturan perundang-undangan.[1]
Selain itu diperlukan juga adanya perjanjian kerja bersama yang merupakan hasil perundingan antara
serikat buruh atau beberapa serikat buruh yang tercatat dalam instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa
pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.[2]
Serikat kerja sendiri
diatur dalam undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat pekerja atau Serikat buruh. Dalam
Undang-undang tersebut pasal 1 angka 1 dijelaskan bahwa Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi
yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di
luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan
bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan
kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya
Duduk perkara selanjutnya adalah pemohon juga meminta
Mahkamah Konstitusi untuk menambahkan/menyempurnakan klausul
dalam Pasal 121 UU 13 Tahun 2003 menjadi sebagai berikut “Keanggotaan serikat pekerja/serikat
buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal 120 dibuktikan dengan
kartu tanda anggota atau formulir keanggotaan dengan mekanisme yang transparan,
terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum”
PETITUM :
1. Mengabulkan
permohonan Pemohon seluruhnya;
2. Menyatakan
Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan bertentangan
dengan UUD 1945 khususnya Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat
(3) dan Pasal 28I ayat (2);
3. Menyatakan
Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. Memerintahkan
pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana
mestinya; Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan
yang seadiladilnya (ex aequo et bono)
Dalam
proses persidangan DPR dan Pemerintah menyampaikan
secara lisan ketidaksepakatan dengan pemohon sebagai berikut:
Keterangan pemerintah (opening
statement) - Diterangkan
pada persidangan tanggal 14 Januari 2010:
- Menurut Pemerintah, anggapan Pemohon yang menyatakan
ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut telah membatasi,
menghambat, menghilangkan dan mendiskriminasikan hak-hak Pemohon adalah tidak tepat, karena pada
kenyataannya Pemohon tidak dalam posisi/situasi yang terganggu, terkurangi
maupun terhalang-halangi untuk bebas berkumpul, berserikat maupun
mengeluarkan pendapat sebagaimana dijamin oleh konstitusi;
·
Pemerintah juga tidak sependapat dengan
anggapan Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan tersebut di atas
telah memberikan perlakuan dan pembatasan yang bersifat diskriminatif terhadap
Pemohon, karena pembatasan yang demikian telah sejalan dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD
yang menyatakan bahwa "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis";
·
Berkaitan dengan kedudukan hukum (legal
standing) pemohon, pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua Majelis
MK untuk mempertimbangkan dan menilainya.
·
Pemerintah
memohon kepada Majelis Mahkamah Konstitusi yang mengadili dapat memberikan
putusan sebagai berikut :
1.
Menyatakan
bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing);
2.
Menolak
permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan
permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard);
3.
Menerima
Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
4.
Menyatakan
ketentuan Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 UU 13/2003 tidak bertentangan dengan
ketentuan Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28I ayat
(2) UUD 1945;
Pendapat
DPR RI
- Terhadap
kedudukan hukum pemohon
Putusan
perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan perkara
Nomor
011/PUU-V/2007, sebagai berikut:
1.
Adanya
hak konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
2.
Hak
konstitusional pemohon tersebut dianggap oleh pemohon telah dirugikan oleh
suatu Undang-undang yang diuji;
3.
Kerugian
konstitusional pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidaknya bersifat potential yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
4.
Adanya
hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dari berlakunya
UU yang dimohonkan untuk diuji;
5. Adanya kemungkinan bahwa dengan
dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak
akan atau tidak lagi terjadi.
Apabila kelima syarat tersebut tidak
dipenuhi oleh Pemohon dalam mengajukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD
1945, maka Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal
standing) sebagai pihak Pemohon. walaupun Pemohon sudah memenuhi ketentuan
Pasal 51 ayat (1) .
Penjelasannya
UU 24/2003, namun berdasarkan batasan kerugian konstitusional yang ditetapkan
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, DPR berpendapat bahwa pada kenyataannya tidak terdapat
kerugian konstitusional ataupun berpotensi menimbulkan kerugian terhadap
Pemohon oleh berlakunya ketentuan Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 UU 13/2003.
DPR
berpendapat bahwa ketentuan Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 UU 13/2003 tidak
merugikan hak konstitusional Pemohon sebagaimana dijamin Pasal 28, Pasal 28D
ayat (1), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu,
Pemohon dalam permohonan a quo tidak memilikikedudukan hukum (legal
standing) sebagaimana disyaratkan Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003 dan dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-111/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007
terdahulu.
- Terhadap pokok perkara
Terhadap
hal-hal yang dikemukakan para pemohon tersebut DPR memberi keterangan sebagai
berikut :
- Terhadap
butir-butir 1, 3, 4, 5 (a, b, c, d), 6, antara lain
- Bahwa DPR tidak sependapat dengan
dalil Pemohon yang menyatakan, ketentuan
Pasal
20 ayat (1) UU 13/2003 yang hanya memberikan hak berunding kepada hanya satu
serikat pekerja dengan jumlah anggota Iebih dari 50% dalam perundingan
perjanjian kerja bersama (PKB) di dalam perusahaan telah secara nyata
mengandung materi muatan yang bersifat membatasi, menghambat, menghilangkan dan
mendiskriminasikan hak-hak Pemohon sesuai dengan fungsi dan tujuan dibentuknya
serikat pekerja di dalam perusahaan, sehingga dianggapnya bertentangan dengan
Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
- DPR
berpandangan bahwa ketentuan
Pasal 120 ayat (1) Undang-Undang a
quo tidak membatasi, menghalangi,menghambat, mengurangi dan mendiskriminasi
hak konstitusional Pemohon dalam kebebasan berorganisasi dan berserikat serta
menyampaikan pendapat, karena pada pokoknya ketentuan Pasal 120 ayat (1)
Undang-Undang a quo adalah mengatur sistem keterwakilan dari serikat
pekerja/serikat buruh.
Bagaimana
mengatur keterwakilan tersebut, tentu kita perlu menentukan sistem, salah
satunya yaitu dengan memperhatikan jumlah. Dalam Undang-Undang a quo diatur
berdasarkan sistem mayoritas untuk mewakili pekerja/buruh dalam perundingan
perjanjian kerja bersama, yang mensyaratkan memiliki jumlah keanggotaannya
Iebih dari 50% dari seluruh jumlah pekerja/buruh pada perusahaan tersebut. Oleh
karena itu sistem keterwakilan mayoritas ini merupakan hal yang lazim dan wajar
dalam negara yang demokratis
Bahwa
berdasarkan pada dalil-dalil tersebut di atas, DPR memohon
kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan amar putusan sebagai
berikut:
1.
Menyatakan
Pemohon a quo tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), sehingga
permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard);
2.
Menyatakan
menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya
permohonan a quo tidak dapat diterima;
3.
Menyatakan
menerima Keterangan DPR untuk seluruhnya;
4.
Menyatakan
Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), Pasal
28E ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
5.
Menyatakan
Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat;
Pada
akhirnya berdasarkan perimbangan hakim Mahkamah Kosntitusi terkait kedudukan
pemohon serta permohonan dan penyampaian dari pihak DPR dan Pemerintah. Mahkamah Konsitusi mengeluarkan putusan
nomor 115/PUU-VII/2009 dengan amar putusan untuk mengabulkan sebagian:
- Menyatakan permohonan Pemohon dikabulkan untuk
sebagian;
- Menyatakan
Pasal 120 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Menyatakan
Pasal 120 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4279) konstitusional bersyarat (conditionally
constitutional) sepanjang:
- frasa,
“Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak
terpenuhi, maka...”, dihapus, sehingga berbunyi, “para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim
perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan
jumlah anggota masingmasing serikat pekerja/serikat buruh”, dan
- ketentuan
tersebut dalam angka (i) dimaknai, “dalam hal di satu perusahaan terdapat
lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, maka jumlah serikat pekerja/serikat
buruh yang berhak mewakili dalam melakukan perundingan dengan pengusaha
dalam suatu perusahaan adalah maksimal tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat
pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% (sepuluh
perseratus) dari seluruh pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan”;
- Menyatakan
Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat;
- Menyatakan
Pasal 120 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang:
- frasa,
“Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak
terpenuhi, maka...”, tidak dihapuskan, dan
- ketentuan
tersebut tidak dimaknai, “dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari
satu serikat pekerja/serikat buruh, jumlah serikat pekerja/serikat buruh
yang berhak mewakili dalam melakukan perundingan dengan pengusaha dalam
suatu perusahaan adalah maksimal tiga serikat pekerja/serikat buruh atau
gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10%
(sepuluh perseratus) dari seluruh pekerja/buruh yang ada dalam
perusahaan”;
- Memerintahkan
pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana
mestinya;
- Menolak
permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya
Akibat
Hukum dari putusan MK Nomor 115/PUU-VII/2009
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan
No. Nomor 115/PUU-VII/2009 mengenai kedudukan serikat pekerja dalam membuat Perjanjian
Kerja Bersama (yang selanjutnya disebut PKB). Keputusan MK tersebut di
keluarkan sehubungan dengan gugatan yang dilakukan oleh Serikat Pekerja Bersatu
Bank Central Asia (SPB-BCA). Sehingga dengan dikeluarkan putusan meninmbulkan
akibat hukum tersendiri bagi penerapan UU No 13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan.
Amar Putusan MK NO 115/PUU-VII/2009 yang
mengabulkan secara sebagaian menyatakan bahwa Pasal 120 ayat (1) dan (2)
bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan terjadi perubahan dengan penghapusan frasa
“Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak terpenuhi, maka…” di Pasal 120 ayat (3) yang sebelumnya berbunyi “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak terpenuhi, maka para serikat pekerja/serikat
buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara
proporsional berdasarkan jumlah anggota masingmasing serikat pekerja/serikat
buruh.” Menjadi “Para serikat
pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan
secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masingmasing serikat
pekerja/serikat buruh”
Kemudian dalam Pembuatan Penjajian Kerja
Bersama (PKB) Mengacu pada Permenakertrans Nomor PER.16/MEN/XI/2011 tentang
Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan
Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama
Maka berdasarkan Putusan MK :
“dalam
hal di satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh,
maka jumlah serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili dalam melakukan
perundingan dengan pengusaha dalam suatu perusahaan adalah maksimal tiga
serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang
jumlah anggotanya minimal 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh pekerja/buruh
yang ada dalam perusahaan”;
Implikasi yuridis atas perubahan adalah apabila
dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat
buruh, maka jumlah serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili dalam
melakukan perundingan dengan pengusaha dalam suatu perusahaan adalah maksimal
tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh
yang jumlah anggotanya minimal 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh
pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan”. Kemudian jika tidak memenuhi
prasyarat dapat tetap ikut dalam perundingan pembentukan Perjanjian Kerja Sama
(PKB) dengan mengadakan koalisi
Sumber
Referensi
Abdul
Rachmad Budiono, Hukum Perburuhan, Jakarta : INDEKS, 2011
www.mahkamahkonstitusi.go.id