A. Pengertian Hukum.
Terdapat dua jenis sudut pandang dalam pengertian hukum:
1. Dalam arti subyek dan objek.
Subyek, ditarfsirkan sebagai seolah pembuat undang - undang.
Obyek, ditafsirkan sebagai lepas pembuat undang - undang dan disesuaikan dengan
kebutuhan sehari - hari.
2. Dalam arti luas dan sempit.
Luas, dalil yang ditafsirkan diberi penafsiran seluas - luasnya.
Sempit, dalil yang ditafsirkan diberi pengertian yang dibatasi.
3. Menurut salah satu ahli.
Professor J.H.A Logeman, seorang hukum mencari dan memahami maksud dari pembuat uu agar tidak menyimpang dari maksud pembuat undang - undang.
B. Penafsiran Hukum.
Dalam ruang lingkup hukum pidana penafsiran tidak bisa dihindari dan terbilang penting,karena:
1.Hukum tertulis tidak begitu mudah mengikuti arus perkembangan zaman dan kemajua masyarakat sehingga bersifat kaku.Sementara masyarakat bersifat dinamis,sehingga hukum tertulis terlihat kaku dan belum bisa menciptakan keadilan bila tanpa dipertimbangkan dengan kedinamisan masyarkat.Oleh karenya diadakan penafsiran.
2. Ketika pembuatan hukum ,terdapat beberapa hal yang tidak menjadi perhatian dari pembuat undang-undang.Namun setelah undang-undang tersebut dijalankan terdapat persoalan terhadap hal yang tidak diperhatikan tadi.Hal tersebut tentu menciptakan kekosongan hukum(karena hakim tidak bisa menolak perkara dan harus memutusnya Pasal (15 AB)) .Oleh karenanya untu memenuhi kebutuhan hukum dan kekosongan tersebut ,dalam hal yang mendesak boleh diadakan penafsiran.
3. Bahasa yang digunakan dalam undang-undang sering bersifat singkat dan umum sehingga sulit difahami maksudnya,oleh karenya dilakukan penafsiran.
4. Rumusan ketentuan hukum pidana sangat banyak,keterangan arti kata dan istilah dalam uu tidak mungkin mencakup seluruhnya dalam undang-undang.Pembuat undang-undang menjelaskan tentang istilah hanya pada undang-undang yang akan dibentuk dan dirasa penting,sesuai dengan maksud undang-undang tersebut.Pembuat uu menyerahkan penfsiran tersebut terhadap hakim.Sehingga salah satu pekerjaan hakim dalam menerapkan hukum ialah penafsiran hukum.
1.Penafiran Autentik
Disebut juga penafsiran resmi Berarti penafsiran yang pasti terhadap kata-kata tersebut.Pembentuk undang-undang telah banyak memasukkan keterangan pada istilah sehingga sesui dengan maksud dari pembuat undang-undang tersebut.
Dikatakan penafsiran otentik karena tertulis secara resmi dalam undang-undang artinya berasal dari pembentuk UU itu sendiri, bukan dari sudut pelaksana hukum yakni hakim.
Kebebasan hakim dibatasi ,sehingga hakim tidak boleh menfasirkan di luar pengertian tersebut.
Diluar KUHP penfsiran ini dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan umum dan penjelasan pasal demi pasal.
Contoh 1. Pasal 98 KUHP: arti waktu” malam” berarti waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit.
2. Pasal 101 KUHP: arti “ternak” berarti hewan yang berkuku satu, hewan memamah biak.
2. Penafsiran Histories (historische interpretatie).
2. Pasal 101 KUHP: arti “ternak” berarti hewan yang berkuku satu, hewan memamah biak.
2. Penafsiran Histories (historische interpretatie).
Ketika peraturan perundang-undangan itu disusun dibicarakan di tingkat badan-badan pembentuk peraturan perundang-undangan dapat.
Berupa dari memori penjelasan, laporan-laporan perdebatan dalam DPR dan surat menyurat antara Menteri dengan Komisi DPR yang bersangkutan, misalnya rancangan UU, memori tanggapan pemerintah, notulen rapa/sidang, pandangan-pandangan umum, dll.
dapat dilihat dari Sejarah undang-undangnya,berupa penyelidikan mengenai maksud pembentuk UU pada waktu membuat UU itu, misalnya denda f 25.-, sekarang ditafsirkan dengan uang Republik Indonesia sebab harga barang lebih mendekati pada waktu KUHP.
3. Penafsiran Sistematis (systematiche interpretatie).
Adalah cara untuk mencari pengertian suatu rumusan uu dengan cara melihat hubungan rumusan yang satu dengan rumusan hubungan yang lain dalam suatu uu tersebut.
Dengan menghubungkan antar satu dan lainya ini dapat ditarik suatu kesimpulan tertentu.
Sistematis berarti antara bidang-bidang dalam uu tersebut berkaitan atau berhungan satu
dengan yang lain.
Example:
Pasal 1 ayat 2 KUHP “ Bilamana ada perubahan dalam
perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan
ketentuan yang paling menguntungkannya”.Kata “paling menguntungkan”
biladihubungkan dengan Pasal 1 ayat 1 “Suatu
perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada.”Pasal ini bermaksud tentang ketentuan
tidak dapat dipidanaya seseorang. Sehingga bila ada suatu ketentuan yang dapat
dipidana dan muncul ketentuan baru yang tidak dapat memidanakan hal tersebut
maka pelaku tindak pidana tersebut dinyatakan bebas.Misalnya X melakukan tindak
pidana dengan anvaman pidana 10 tahun kemudian muncul uu baru mengnai tindak
pidanya yaitu mengerutkan ancaman pidana menjadi 5 tahun.Maka ancaman pidana
yang digunkan yang 5 tahun.
4. Penafsiran Logis.
Adalah mencari maksud dari pembentukan suatu uu dengan menghubungkan dengan uu lain yang masih memiliki sangkut paut atau berhubungan dengan uu tersebut.
Example: Pasal 55 tentang Bab V - Penyertaan dalam Tindak Pidana
(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
5.Penafsiran Gramatikal (gramaticale interpretatie).
Disebut juga penafsiran tata bahasa. Penafsiran ini berdasar atas bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat yang bersangkutan.
Penafsiran ini mencari pengertian dari suatu uu,dengan mencari pengertian tersebut dengan menggunakan bahasa sehari-hari masyarakat tersebut.
Example: 1.Pasal 432 KUHP “Seorang pejahat suatu lembaga pengangkutan umum yang dengan sengaja memberikan kepada orang lain daripada yang berhak, surat tertutup, kartu pos atau paket yang dipercayakan kepada lembaga itu, atau menghancurkan, menghilangkan, memiliki sendiri atau mengubah isinya, atau memiliki sendiri barang sesuatu yang ada di dalamnya diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Kata “dipercayakan” dapat ditafsirkan dengan “diserahkan”
2.Pasal 305 KUHP “Barang siapa menempatkan anak yang umurnya belum tujuh tahun untuk ditemukan atau meninggalkan anak itu dengan maksud untuk melepaskan diri daripadanya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. Kata “meninggalkan “ dapat ditafsirkan dengan “menelantarkan”
6.Penafsiran Teologis (Teleologische Interpretatie).
Mengenai maksud dan tujuan uu tersebut, menafsirkan rumusan dalam suatun uu berdasarkan maksud dari pembentukan rumusan tersebut dalam uu.
Penyebabnya kebutuhan manusia berubah menurut waktu sementara rumusan uu tetap.
Example: Saat masih berlakunya UU No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi (dicabut dengan UU No. 26 tahun 1999), dalam menafsirkan rumusan dalam UU itu mengenai suatu kasus tertentu, selalu didasarkan pada maksud dari pembentuk UU itu,yaitu untuk memberantas setiap perbuatan yang menggangu kelangsungan dan kestabilan kekuasaan pemerintahan negara ketika itu.
7.Penafsiran Analogis.
Memberi tafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut (ada rasio persamannya kejadian konkretnya terhadap noma-noma tesebut).
Example: Pasal 388 KUHP ayat 1 “Barang siapa pada waktu menyerahkan barang keperluan Angkatan Laut atau Angkatan Darat melakukan perbuat.an curang yang dapat membahayakan kesempatan negara dalam keadaan perang diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
Maksud pasal tersebut adalah melarang oang melakukan pebuatan curang pada waktu menyerahkan keperluan angkatan laut atau angkatan darat yang dapat membahayakan keselamatan negaa dalam keadaan perang. Jadi tidak ada diatur keperluan angkatan udara.
Dengan menggunakan penafsirang analogis, maka jika terjadinya menyerahkan pada angkatan udara maka pasal ini juga dapat dikenakan karena pada dasar fungsi, peranan dan tugas angkatan laut dan darat juga sama dengan tugas angkatan udara yaitu dalam usaha perlindungan keselamatan dan keamanan negara.
8.Penafsiran Ekstensif.
Memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat dimasukkan seperti “aliran listrik” termasuk juga “benda”
Example: Pada tahun 1921 pengertian kata “barang” hanyalah diartikan barang yang berwujud saja,karena pada waktu itu tidak ada barang yang tidak berwujud dan dapt diambil.Namun karena perkembangan Iptek ada barang yang tidak berwujud dan dapat diambil yaitun “ aliran listrik “.Oleh karena itu ,tahun 1921 Hoge Read memperluas arti kata barang yang tidak berwujud yaitu aliran listrik.Sehingga orang yang melakukan pencurian listrik dapat dijatuhi pidana,karena memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 362 KUHP tentang pencurian.
9.Penafsiran A Contrario (menurut peringkaran).
Menarik suatu kesimpulan yang berkebalikan dari sesuatu yang telah ada.
Menarik suatu kesimpulan yang berkebalikan dari sesuatu yang telah ada.
Dipertegas oleh Satochid Kartanegara bahwa ”keadaan ini kita jumpai apabila terdapat beberapa hal yang diatur dengan tegas oleh UU, tetapi disamping itu tedapat pula hal-hal, yang sifatnya sama, tidak diatur denagan tegas oleh UU, sedang hal-hal ini tidak diliputi oleh UU yang mengatur hal-hal tegas ini.
Example: Pasal 34 KUH Perdata menyatakan bahwa seorang wanita tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum waktu 300 hari sejak saat perceraian. Apakah seorang laki-laki juga menunggu waktu 300 hari? Berdasarkan metode a contrario maka dapat dikatakan bahwa ketentuan ini tidak berlaku bagi seorang laki-laki, karena masalah yang dihadapi tidak diliputi atau tidak termasuk dalam pasal atau masalahnya berada di luar pasal 34 KUH Perdata. Pasal 34 KUH perdata tidak menyebutkan apa-apa tentang laki-laki tetapi khusus ditujukan pada wanita